Aku tak mati meski dibenami rindu tanpa pelukan lagi.
Bagiku, kau tetap ada di sini bersamaku mencairkan segala yang beku, dari rindu-rindu dan resah gelisah yang menyumpahi. Di hatiku kau masih utuh membersamai luka dan air mata, menyadur seluruh inginku menjadi umpama, menyusunnya menjadi semoga, semoga yang tak pernah kutahu akan menjadi apa.
Kau seperti racun sekaligus penawarnya, kau yang pergi meninggalkan aku mendulang hari dengan kecewa namun pecahan-pecahan kenangan yang kau tinggalkan adalah alasan mengapa aku masih bahagia meski tanpamu, tanpa pelukanmu.
Aku masih ingat tatapan matamu yang mengutarakan rindu, puisi-puisi yang kau bicarakan lewat pesan, sebuah pernyataan cinta yang jarang kau suarakan. Namun aku mendengar, aku merasakan seluruh kasih dan perduli yang kau beri. Kau tak pernah membiarkan aku haus dan kelaparan, kau selalu datang lebih awal mendahului rasa sakit. Namun pada akhirnya takdir tetap membawamu pergi meninggalkan sajak-sajak pedih di jemariku, yang rentan patah mungkin mati.
Aku masih sering menanyakan kabarmu pada Tuhan, bahkan menanyakan hatimu, apakah masih ada perasaan dulu.
Riuh ricuh itu kuterima dengan lapang, rindu-rindu yang mengadu tentang tertundanya pertemuan kutumbangkan di latar doa-doa malam. Bisa apa aku ? selain menyerahkanmu pada semesta yang sebelumnya juga telah memisahkan kita, yang melipat hatimu di balik dada lain wanita.
Tak jarang aku perbincangkan andai pada dunia, mungkin dan barangkali atau bisa jadi. Namun itu semua akan tetap menjadi sebuah cerita atau sekedar runutan prosa tentang cinta yang patah dalam ratusan purnama.
Entah sedalam apa perasaan ini, mungkinkah hanya aku yang memiliki ? sudahkah segalanya pergi seirama dengan tubuhmu yang terganti? sedangkan aku masih begitu sukarela mengabadikan perasaan ini dalam-dalam di dalam ingatan yang bahkan mungkin tak ingin kau kenang sekarang.
Aku sendirian. Menatih sabarku agar tak segera rumpang, sekalipun dirasa teramat gersang.
Kenangan denganmu terkadang seperti bilah pisau, namun terkadang seperti wangi bunga yang sedang ranum. Sama, seperti rindu yang belum sempat mati di dalam sukma, terkadang ia membakar tapi terkadang juga melahirkan senyum diam-diam. Mungkin memang benar, mengingatmu tak semenyakitkan itu, tapi perpisahan kita adalah luka yang abadi.
Masih kurawat janjiku untuk selalu mendoakanmu, sekalipun aku telah gagal menjadi pengantar tidurmu setiap malam.
Masih kutemui luka perpisahan kita, sekalipun hanya aku yang akan merasakannya.
Kesadaranku penuh, sekalipun utuh tak lagi dapat kusentuh ; denganmu.

KAMU SEDANG MEMBACA
NESTAPA DALAM AKSARA
PoetryKalau saja waktu bisa diputar mundur aku ingin berada tepat di mana aku pernah jatuh cinta padamu. Tidak ada yang disesalkan dari kisah yang dipaksa usai, kau tetap abadi mengekal di relung paling dalam. bukan salahmu jika pada akhirnya bukan aku ya...