HUJAN DESEMBER

31 1 0
                                    

ini lah aku,
berdiam di bawah rerintik hujan
menatapmu di genangan jalan
di bawah bayang-bayang pepohonan.

Desember, sampai lagi aku di penghujung tahun kekasih, masih memeluk luka-luka dan rindu yang entah kapan sampainya. Kudengar banyak orang bilang bahwa di dunia ini tak ada yang abadi, semua pasti akan pergi. Tapi itu tidak berlaku untukmu, untukku yang masih mencintaimu, hingga musim-musim berganti, berlalu dan kembali dengan peluk yang tetap saja lebam membiru. Kau masih lekat, sepakat terus bertempat di hatiku yang mungkin telah rengat. Bagaimana tidak? kemarau atau penghujan bahkan tak ada bedanya, sama-sama membawa bilah belati dan badai paling nyaring menyungging suara yang melengking, membanting ketabahan yang nyatanya belum setegar batu karang.

Entah ini sudah tahun ke berapa, aku tak peduli seberapa lama kita sudah mendiami bilik-bilik  sepi yang tak bertepi, sudah seberapa jauh kita bersembunyi. Hujan-hujan Desember tahun ini mungkin akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, menyajikan banyak lagu dan suara-suara paling rindu, paling haus dan lapar akan sebuah ruang percakapan. Mungkin juga akan ada asap kopi setiap malam atau setiap kali turun hujan, kau tahu mengapa?  karena di setiap sesapnya ada pahit perpisahan kita, aku tak ingin melupa meski itu sebuah luka.

Kau sering menjelma kicau burung pagi, bersiul di telinga menyampaikan kata-kata tentang kesepian yang tak ada sudahnya. Kau juga sering merupa kabut-kabut malam, menutupi senja yang jingga, mengingatkan aku tentang tenggelamnya sebuah rencana yang dibalut kata semoga.

Pada ampas kopi paling akhir, kuceritakan sedikit tentang langkah kakimu yang menjauh, mengulir hatiku sampai pada remuk yang utuh. Aku seperti telah keras berlari menggapai lenganmu, namun tetap tak mampu membuatmu berbalik arah dan kembali untukku.

Hujan tetap menjadi lirik duka, dengan irama paling nelangsa, ditambah Desember yang lebih kerap dingin, selain hujan, tubuh sering dibuai angin kemarin.

Kepadamu cinta masih menuju.
Semoga bibir semesta sampai pada telingamu, doa-doaku yang panjang, yang tak pernah meletakkan namamu di belakang, pun dengan sujud-sujud malam yang menjadikanmu tujuan mampu diterjemahkan dalam ruang penerimaanmu yang lapang. Jangan kaugerai penolakan, ini hanya sekedar kabar bukan permintaan pengembalian dirimu ke dalam pelukan;ku.

Desember,
Bulan akhir
Bulan paling mahir menggenapi duka dan rasa getir
Menyajikan dingin juga genang air
Meletupkan kenangan saat percikan hujan berserakan.

NESTAPA DALAM AKSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang