“Najwa, ini kok ada bantal dan selimut di sofa, siapa yang tidur di sini?”
Ya ampun. Aku merutuk dalam hati karena lupa untuk segera membereskan bantal dan selimut Mas Farhan yang digunakannya beristirahat tadi malam. Aku tergeragap, bingung harus menjawab apa.
Bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan kepada Bunda?
Karena tidak ada satu pun jawaban terlintas di otakku, aku memilih menghindar dari Bunda dengan membereskan barang-barang itu ke kamar.
Maaf, Bunda. Maaf karena malah mengabaikan Bunda.
Begitu selesai meletakkan bantal dan selimut itu, aku keluar kamar. Ternyata Mas Farhan datang, entah dari mana. Sejak usai salat Subuh tadi, dia tidak menampakkan batang hidungnya.
"Kamu dari mana, Han?" tanya Bunda seraya menoleh kepada putranya itu. "Pagi-pagi sudah enggak di rumah. Enggak kasian istrinya ditinggal sendirian? Masih suka keluyuran?"
Kulihat Mas Farhan menggaruk kepala, bibirnya bergerak, tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar. Mas Farhan kalau dihadapkan sama Bunda mati kutu. Hebat sekali bundaku itu. Coba saja pas sama aku.
"Terus tadi pas Bunda masuk rumah, kenapa ada bantal dan selimut di sofa? Siapa yang tidur di luar? Selama sebulan lebih menikah, kalian pisah ranjang?"
Amazing! Bunda benar-benar bisa banget membuat kami bak disambar petir secara tiba-tiba. Kekuatan firasat wanita itu sangat kuat, sepertinya. Padahal ini baru pertama kali ia melihat keanehan di rumah kami. Jangankan aku, Mas Farhan saja yang pasti terbiasa dengan sikap ibunya yang suka mengejutkan itu, tampak pias. Raut wajahnya terlihat memutih, bibirnya bergetar. Andai Mas Farhan berdiri tepat di hadapan Bunda, dan tidak menundukkan kepala, beliau pasti menyadari perubahan raut wajah putra semata wayangnya.
"Farhan, kenapa diam?"
Aku jadi penasaran dengan jawaban apa yang akan ia berikan untuk bundanya. Kita lihat saja bagaimana respons si Tuan Es ini memberi jawaban. “Em ... itu, Bunda-" Ternyata dia bisa tergagap juga. Kupikir ia hanya bisa marah dan jutek. Ingin rasanya aku tertawa melihat ekspresi itu. Namun, kutahan. Karena di depan Bunda Mas Farhan pasti jaim.
"Itu apa, Farhan? Ayo jawab. Kamu tidak akan tergagap begini kalau kamu tidak menyembunyikan sesuatu dari Bunda."
Salut. Bunda benar-benar mengenal siapa putranya. Dalam diam dengan menundukkan kepala, aku menunggu jawaban apa yang akan Mas Farhan berikan. Andai Bunda tinggal bersama kami, betapa bahagianya aku karena Mas Farhan pasti bersikap manis kepadaku. Ah, tidak. Bukan kebahagiaan sementera seperti itu yang kuinginkan. Perlakuan manis dari hati Mas Farhan yang kuinginkan.
"Tadi malam Farhan dan Najwa tidur di luar, Bun. Soalnya di dalam tadi malam panas. Iya kan, Sayang?”
Aku menghela napas berat mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibir tebal suamiku ini. Ternyata ia masih melibatkanku demi mengelabui ibunya sendiri. Benar-benar lelaki cerdas. Sayang, ia menggunakan kecerdasannya untuk hal-hal seperti ini. Tubuhku terasa kaku seketika, apalagi saat Mas Farhan merangkul pundakku dan bersikap layaknya suami dan istri pada umumnya. Lidahku pun terasa kelu hingga tidak mampu bersuara. Hanya anggukan kepala dan sedikit senyum yang dipaksakan yang mampu kulakukan saat Bunda menatap kami dengan penuh selidik.
“Terus kok cuma satu bantalnya? Tikarnya mana? Kalian pake alas apa? Nggak mungkin kalian tidur di sofa berdua, kan? Masa muat?”
Bundaku memang benar-benar hebat. Ada saja kalimatnya yang mampu menyudutkanku dan Mas Farhan. Jika bukan karena tekatku untuk berjuang dari awal, serta keinginan Ayah yang berharap aku menikah sekali seumur hidup, mungkin aku sudah membongkar semuanya sekarang. Lagipula apa yang harus dipertahankan, sementara suamiku saja tidak menerimaku? Bahkan dari awal kami tinggal bersama, dia sudah menekankan hal itu. Cukup dengan aku jujur dan mengakhiri pernikahan ini, semua pasti kelar. Tidak akan ada lagi derai air mata karena meratapi nasib tidak beruntung seperti yang sudah-sudah. Tidak akan lagi nyeri di dada yang mengakibatkan sesak bak ditimpa beban beribu-ribu ton. Aku bisa bernapas lega, melakukan apa pun sesuai harapanku. Bukankah itu lebih mudah? Tentunya membahagiakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Surga (Tamat)
Truyện NgắnSemua anggota keluargaku semunya menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya. Mereka bisa bahagia, meski itu bukan pilihannya sendiri. Maka, aku yang mempunyai garis keturunan dari mereka harus terlibat perjodohan juga. Tetapi entah mengapa, aku mer...