3. Apa?

750 46 1
                                        

“Malam ini bunda nginap disini ya?” ucap Bunda setelah aku dan Mas Farhan duduk di meja makan untuk makan malam.

“Apa?” tanyaku berbarengan dengan Mas Farhan.

Mataku sontak membelalak. Sejenak, kami saling tatap. Jelas saja kami kaget mendengar pernyataan Bunda. Selera makan kami seolah-olah lenyap begitu saja. Aku menyeruput teh panas di atas meja makanku saking paniknya. Mas Farhan pun demikian. Dia memakan nasi gorengnya dengan cepat. Tidak peduli rasa yang sudah bercampur aduk menjadi satu.

“Iya, Bunda ingin nemenin kalian. Lagian, ayah kalian kan lagi di luar kota, Bunda sendirian di rumah,” jelas Bunda. “Tidak ada masalah kan?”

Kami masih terdiam. Bunda yang tidak sengaja melihat kami yang masih kaget, tiba-tiba bertanya, "Kalian kenapa?”

“Nggak, Bun.” Lagi-lagi kami menjawabnya serempak. Membuatku canggung saja.

“Kalau kalian keberatan Bunda nginap di sini, karena takut ganggu bulan madu kalian, enggak papa kok. Bunda nginapnya lain kali aja. Gimana?”

Ya Allah, Bunda. Bulan madu apaan? Yang ada bulan gelap.

Aku mengatupkan bibir. Sengaja ingin tahu jawaban apa yang akan diberikan Mas Farhan.

“Enggak kok, Bunda. Kita enggak ada masalah. Lagian masak iya, kita tega biarin Bunda sendirian di rumah?”

Cocok banget jadi bunglon. Bisa mengelabui siapa pun. Eh.

Bunda tersenyum ceria. "Oke. Nanti kalian tunjukkan kamar Bunda di mana, ya.”

“Ya, Bun.”

Baiklah. Mau tidak mau kami harus menerima kehadiran Bunda di rumah kami. Ya walaupun dengan hadirnya Bunda di sana kami merasa bagaikan hidup di penjara. Merasa selalu terawasi sehingga kami tidak begitu bebas untuk melakukan apa pun yang kami inginkan. Kami tidak mungkin menjalani hidup seperti yang telah berlalu saat Bunda tak bersama kami.

“Najwa, ini kenapa ada alas di dekat kasur? Siapa yang tidur di sini? Kalian enggak tidur bareng?”

Ya ampun, Bunda peka banget, sih.

“Bunda ini kok nanya gitu sih? Kan aneh klo suami istri enggak tidur bareng? Jangan aneh-anehlah, Bunda pertanyaannya.”

Mas Farhan tiba-tiba datang dan mengeluarkan argumentasinya. Baiklah, kita ikuti saja panggung sandiwara yang diciptakan suamiku ini.

“Tadi habis dari kantor, Farhan tiduran di bawah.”

Bagus juga jawabannya.

“Kok enggak tidur di atas sih?”

“Bunda ini lama-lama makin buat aku bingung deh. Masa cuma tidur di bawah aja, jadi salah. Ngapa-ngapain salah terus.”

Uh, Mas Farhan tidak tahu saja kalau dirinya sedang merajuk begini, ia terlihat makin tampan. Apaan sih, Najwa? Perdebatan antara ibu dan anak ini seru. Haha.

“Bukannya begitu, Han. Bunda hanya aneh saja dengan sikap kalian. Apa memang benar, kalian tidak tidur bareng?”

Aku menggeleng samar, benar-benar takjub dengan kepekaan perasaan Bunda.

“Ya ampun, Bunda. Masak mau tidur harus bareng-bareng terus sih, Bun?”

Aku membekap mulut, menyembunyikan tawa, mendengar rajukan Mas Farhan. Dia benar-benar terlihat lucu.

"Lagian Najwa kan kadang masih di kantor ketika Farhan udah pulang. Masa iya, Farhan dan Najwa harus ngapa-ngapain berdua terus? Dunia kerja kita beda bun. Kebutuhan kita juga banyak yang beda. Kembar identik aja masih banyak yang beda dan enggak mesti selalu melakukan hal yang sama dengan kembarannya, apalagi Farhan dan Najwa yang memang terlahir dari orang tua berbeda dan dari latar belakang keluarga berbeda. Ya, kan?”

Bidadari Surga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang