11.

590 37 0
                                        

Pagi ini matahari menampakkan wajahnya begitu riang. Dia sangat bergembira karena dapat menyinari bumi kembali. Semilir angin pagi masih terasa dingin menelusup kedalam tubuh. Embun-embun pagi masih terus membasahi setiap rerumputan yang ada di taman belakang rumahku.

Aku membawa suamiku jalan-jalan mengitari kompleks perumahan kabupaten Bangkalan itu, karena aku yakin dia pasti jenuh terus-terusan berada di rumah apalagi dengan kondisi tubuh yang sebagian lumpuh.

“Mas... mas suka kan dengan pemandangannya?”
Dia tersenyum.
“Najwa... najwa... kamu itu bodoh sekali, laki-laki lumpuh seperti itu masih dipertahankan.”

Terdengar suara seorang perempuan yang tidak asing bagiku. Suara ibu Marlena. Dia memang termasuk deretan orang yang tidak suka dengan kehadiranku dan suamiku.

Semenjak suamiku jatuh sakit dan mengalami kelumpuhan begitu banyak cobaan yang harus ku hadapi. Banyak dari tetanggaku yang mencemooh kami. Dan saat ini lah kesabaranku benar-benar di uji. Tapi aku tak àkan pernah memasukkan kata-kata itu ke dalam hatiku. Aku akan membuat kata-kata itu sebagai motivasi bahkan sebagai cambuk untukku agar aku lebih bersabar dalam menjalani kehidupan ini.

“Najwa masih banyak lelaki di luar sana yang jauh lebih baik dari dia. Laki-laki seperti itu buang saja!”
“Biarkan saja dia Najwa biar mampus saja!”
Kata-kata mereka semakin kurang ajar.
“Hahaha...............” Sesekali terdengar suara tawa ejekan mereka.

Tanpa terasa bulir demi bulir air mata telah menggenangi pelupuk mataku. Dengan Segera aku menyekanya, aku tidak ingin suamiku melihat air mata ini. Aku mempercepat langkahku sambil mendorong kursi rodanya. Aku tak ingin berlama-lama berada di dekat mereka, karena aku tak ingin mereka terus-terusan melakukan dosa karena selalu menggunjingku dan suamiku.

“Ya Allah... Ampuni dosa hamba, mungkinkah ini karena begitu banyaknya dosa hamba hingga engkau menghukum hamba seperti ini?”
“Ya Allah.... Ampuni dosa orang yang telah melakukan hal-hal yang tidak benar menurut engkau kepada kami yang hina ini.”
“Bukakanlah pintu hidayahmu untuk mereka juga untuk kami Ya Allah....” Rintihku dalam hati.

Aku menghentikan langkahku ketika aku sudah tiba di beranda rumahku.

“Mas kita sudah sampai di rumah, mas mau langsung masuk apa bagaimana?”

Sepertinya kata-kata tetanggaku tadi telah berhasil mempengaruhi otak suamiku. Buktinya sejak tadi aku memanggilnya namun tak ada jawaban,dia melamun. Aku menurunkan lututku dan berdiri setengah badan di hadapannya.

“Mas kenapa?”

Dia terlihat kaget mendengar kata-kataku lalu menggelengkan kepalanya.

“Mas gak usah pikirin kata-kata tetangga kita, anggap saja itu cuma angin lewat!”
“Mas harus sabar, ini ujian untuk kita mas...”
“Mas juga harus percaya kalau Najwa gak akan pernah meninggalkan mas Farhan, Najwa akan selalu ada disini, merawat mas Farhan sampai mas Farhan sembuh.”

Wajahnya tertunduk dengan linangan air mata yang mulai meleleh di pipinya. Dengan segera aku menyeka air mata itu.Aku tak ingin dia bersedih. Ada banyak cara yang aku lakukan untuk menghiburnya. Karena kata dokter Firman keadaan hati yang selalu bersedih juga mempengaruhi proses penyembuhan suatu penyakit.

“Dari pada kita sumpek mikirin hal yang gak penting mending Najwa bacain shalawat ya buat mas.”

Aku mulai mengalihkan pembicaraan. Dia pun  mulai tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Aku pun mulai membaca shalawat itu.

“Yaa aasyiqal mushthafaa absyir binailil munaa....”

Kami begitu menikmati shalawat itu. Sesekali senyumnya tersungging dari bibirnya, dan tatapan kami saling bertemu.

“Ya Allah... terima kasih atas karunia ini, hamba  bisa merasakan kebahagiaan ini bersama orang yang sangat hamba sayangi ini semata-mata karena kemurahan-Mu Ya Allah.”

Aku menyudahi bacaan shalawatku, lalu memeluknya erat. Aku merasa nyaman di dekatnya. Tak ingin rasanya aku berlalu dari waktu yang begitu indah bagiku.

Waktu pun terus bergulir hingga tanpa terasa dua bulan sudah aku merawat suamiku. Aku mulai melatih pita suaranya selama dua bulan itu dan Alhamdulillah dia sudah mulai bisa mengeluarkan suaranya meski hanya sepatah demi sepatah. Tapi setidaknya sudah ada perkembangan dari kondisinya dan aku sudah tidak terlalu sulit untuk mengerti kemauannya.

“Kak Fahri...”

Bidadari Surga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang