“Najwa...”
Mas Farhan memanggilku. Dengan segera mungkin aku memenuhi panggilannya dan menemaninya duduk di teras depan rumah kami. Perlahan ku sandarkan kepalaku di bahunya.
“Aku kangen sama ayah dan ibu kita.”
“Najwa juga kangen sama mereka mas.”
“Seandainya mereka tahu kalau kita sudah bersatu seperti ini pasti mereka akan sangat senang sekali.”
“Sudahlah mas. Jangan sesali apa yang telah terjadi. Allah pasti selalu punya rencana yang baik dibalik semua musibah dan ujian yang diberikan-Nya pada kita.”
“Kamu adalah bidadariku Najwa. Bidadari yang mampu mendinginkan hati dan jiwaku melalui kata-kata dan sikapmu.”Mas Farhan mengecup lembut keningku dan menatapku dengan tatapan manja. Kami terus menikmati indahnya pemandangan di pagi menjelang siang itu. Hingga tanpa terasa teriknya matahari telah menyengat kulit kami.
Matahari telah tetgelincir dan waktu dzuhur pun telah tiba. Kami pun meninggalkan tempat duduk kami dan beranjak menuju kamar mandi dan membersihkan tubuh kami dengan tetesan-tetesan air wudlu' yang masih terasa dingin meski terik matahari begitu menyengat. Dan kami pun melaksanakan shalat dzuhur berjamaah.
Tiga bulan telah berlalu. Pagi ini tak tahu entah mengapa, tubuhku terasa lemas sekali dan keadaan perutku tak seperti biasanya. Bawaannya mual terus. Suamiku yang mengetahui hal itu langsung mengantarku ke dokter. Wajahnya masih dipenuhi kegelisahan. Dia mengkhawatirkanku.
“Pak Farhan... anda jangan gelisah seperti itu. Ibu Najwa baik-baik saja. Dia sedang hamil sudah dua bulan pak.”
Seketika itu, ucapan tahmid pun memenuhi ruang hatiku dan Farhan. Aku begitu bahagia mendengar kabar baik dokter itu.
Putaran Waktupun terus berlalu. Dan usia kandunganku sudah memasuki enam bulan. Memasuki usia ini aku mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa terjadi padaku. Terkadang perutku terasa sangat sakit, kepalaku juga sering sakit dan tubuhku selalu lemas. Membuat semangatku surut. Tapi, tak kan ku biarkan hal itu menghalangi aktivitasku. Aku mencoba mengkonsumsi jamu-jamuan herbal alami yang tidak mengandung begitu banyak bahan kimia. Dan Alhamdulillah sampai usia kandunganku memasuki tujuh bulan aku sudah jarang merasakannya.
“Sayang kok masih disini, gak ke kantor?”
Mas Farhan menjemputku ke kamar untuk berangkat ke kantor bareng.
“Tubuhku lemas sekali mas. Gak papa ya aku izin hari ini saja?”
“Sayang... kalau memang kamu gak bisa gak papa. Biar mas suruh Sakit yang ganti kerjaan kamu.”
“Makasih ya mas.”
“Ya sudah, kamu istirahat. Mas berangkat ya sayang. Nitip anakku.”Ketika hendak berbaring Mas Farhan melihat ada bercak darah di tempatku duduk tadi.
“Sayang kamu sedang mens?”
Dia bertanya dengan wajah penuh khawatir. Aku melihatnya. Ya Allah... darah itu semakin deras saja. Aku kaget sekaligus panik karena darah itu berbeda dengan darah ketika aku menstruasi. Dan seiring dengan semakin derasnya darah itu mengalir aku merasakan kondisi tubuhku semakin melemah. Kepalaku tiba-tiba pusing dan mataku semakin lama semakin buram. Dan... Akhirnya aku pun pingsan.
Mas Farhan lalu melemparkan tas kerjanya sembarangan dan menggendongku ke mobil. Dia segera membawaku ke rumah sakit. Sayup-sayup ku mendengar mas Farhan sedang berbicara dengan dokter Anisa.
“Pak Farhan, saya hanya ingin memberi saran. Kandungan ibu Najwa sangat lemah. Saya khawatir kalau ibu Najwa tetap mempertahankan bayi itu nyawa ibu Najwa terancam, atau bahkan dengan bayinya sekaligus.”
Mas Farhan pias mendengar kata-kata dokter Anisa. Dia tahu konsekwensinya jika hal itu tetap dilakukan. Mas Farhan terdiam. Berat rasanya untuk mengambil salah satu diantara dua keputusan yang benar-benar membuatnya dilema. Dia tak ingin kehilangan dua orang penting dalam hidupnya itu.
“Sebaiknya anda bicarakan ini baik-baik dengan ibu Najwa. Saya berharap anda dan ibu Najwa mengambil keputusan yang tepat.”
Dokter Anisa berlalu meninggalkan Mas Farhan yang masih enggan meninggalkan tempat duduknya. Enggan bertemu denganku, karena merasa berat untuk menyampaikan kabar ini.
“Mas Farhan.., jangan terlalu khawatir. Aku dan bayiku baik-baik saja kok.”
“Aku akan mempertahankan bayi ini dalam rahimku mas.”
“Sayang... kamu harus pikirkan kesehatan kamu juga dong!”Wajahnya begitu lelah ketika mendengar kata-kataku. Lama dia terdiam. Aku memegangi tangan kanannya begitu erat dan menatapnya tajam. Aku tahu alasan dia diam. Aku mengatur napasku.
“Mas... mas harus yakin, aku akan baik-baik saja bersama anak kita. Aku bisa kuat mas sampai aku melahirkan nanti. Yang aku butuhkan saat ini adalah dukungan dari kamu. Bantu aku untuk melewati masa ini mas.”
Matanya basah. Dia merangkul tubuhku di kasuran rumah sakit itu sambil sesekali dia mengusap-ngusap lembut pundakku. Akupun ikut meneteskan air mataku. Betapa bahagianya hatiku ketika melihatnya begitu menyayangiku seperti ini. Hatiku bertasbih. Terima kasih ya Allah, terima kasih karena aku diberikan kesempatan merasakan kebahagiaan ini bersama orang yang sangat aku cintai.
![](https://img.wattpad.com/cover/216923331-288-k345271.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Surga (Tamat)
Короткий рассказSemua anggota keluargaku semunya menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya. Mereka bisa bahagia, meski itu bukan pilihannya sendiri. Maka, aku yang mempunyai garis keturunan dari mereka harus terlibat perjodohan juga. Tetapi entah mengapa, aku mer...