Malam ini aku bermaksud untuk membuat nasi goreng kesukaannya. Aku sudah siap dengan semua peralatanku dan siap memasak. Namun takdir berkata lain seolah-olah tak mengizinkanku untuk melanjutkan pekerjaanku; listrik disana tiba-tiba padam. Spontan aku berteriak memanggil suamiku. Dia segera berlari menuju arahku dengan membawa lampu senter. Aku memegang erat lengannya dan menenggelamkan wajahku di bahunya. Bayangan tentang apa yang telah terjadi kepada kedua orang tuaku beberapa waktu lalu telah kembali menghampiri otakku, aku terisak.
“Najwa beristirahatlah kemungkinan padamnya lama,” ucap Mas Farhan.
“Tapi aku takut.”
“Aku akan menemanimu di sini, Najwa. Tenang saja!”
Hatiku sedikit lega mendengar kata-katanya.Sebenarnya Mas Farhan itu adalah sosok lelaki yang baik, dia perhatian kepadaku dan dia tidak pernah sekalipun membentak apalagi mengeluarkan kata-kata kotor kepadaku, juga tidak pernah memukuliku. Hanya satu hal yang tidak mampu dijangkau penalaranku, mengapa dia terus-terusan mendiamkanku dan tidak mau sebentar pun berada di sisiku. Bahkan ruang istirahat kami berada di tempat yang berbeda. Hanya ketika salat berjemaah dan makanlah kami bersama. Lepas dari itu kami sibuk dengan urusan masing-masing. Padahal aku sangat ingin selalu bersama dengannya.
Kring. Kring. Kring.
Terdengar suara jam bekerku yang ada di meja samping tempat tidurku. Dengan segera aku bangkit dari tidurku lalu mematikan jam beker itu dan beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudu. Sejurus kemudian aku sudah terlarut dalam kekhusyukan salat tahajudku. Aku tumpahkan seluruh keluh kesahku di hadapan Dzat yang telah menciptakanku. Kubiarkan deraian air mata ini mengalir deras dari dua sudut mataku.
Setelah selesai melaksanakan shalat tahajud dia melangkah masuk menuju kamarku. Dia duduk disampingku yang tertidur dengan masih memakai mukenah. Tangannya bergerak ingin menyentuh wajahku namun niatnya terhenti, dia takut mengganggu tidurku dan dia masih punya wudlu'. Dia terus menatapku, sesekali wajahnya tertunduk. Bulir demi bulir air mata yang telah menumpuk di pelupuk matanya siap menghujani daratan pipinya, tapi dia berusaha untuk kuat dan menahan air mata itu agar tidak tumpah. Dia pun meninggalkanku karena dia takut akan menangis di dekatku.
Adzan subuh telah mengalun merdu dari beberapa mushollah dan masjid yang ada di kota Bangkalan. Waktu telah mengantarku menuju pagi yang cerah. Sehabis melaksanakan rutinitas Ibadah aku melangkahkan kakiku menuju dapur kecilku untuk menyiapkan sarapan untuk suamiku dan menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke kantor. Setelah persiapanku rampung aku memanggilnya untuk sarapan. Usai itu dia pun beranjak untuk berangkat bekerja. Aku mengantarkannya sampai di depan pintu. Aku mengulurkan tanganku untuk sallim padanya dan betapa bahagianya hatiku saat uluran tanganku di sambut baik olehnya. Aku mencium tangannya dengan penuh cinta dan ta'dzim.
“Ya Allah... mungkinkah ini pertanda bahwa suamiku sudah bisa menerimaku?” Batinku.
Ternyata... pertanyaan itu selalu di jawab dengan kata tidak dan tidak. Apa yang telah dilakukannya itu hanya karena dia kasihan kepadaku. Tapi baiklah, aku tidak akan menyerah, aku akan setia menunggu saatnya tiba, saat dia akan menerima kehadiranku di sisinya. Aku akan selalu mengingat kata-kata ibuku yang datang kedalam mimpiku beberapa waktu lalu.
“Najwa selama ini ayah dan ibu telah mendidik kamu dengan baik, dan kamu adalah satu-satunya anak kami yang paling patuh terhadap keputusan kami. Ibu tahu dengan apa yang kamu alami saat ini bersama suamimu, tapi kamu jangan berkecil hati sayang.... ini adalah ujian.”
“Jika kamu mampu melewati ujian ini dengan lapang dada insya'allah kamu akan meraih kebahagiaan yang kamu harapkan nak.”Waktu itu, ibuku tersenyum lalu memelukku erat. Aku merasa nyaman di pelukannya. Sudah lama aku tak merasakan pelukan itu, rindu rasanya.
“Ingatlah baik-baik kata-kata ibu sayang... hargailah suamimu, jangan pernah kamu melawannya, sekalipun dia punya salah ingatkan ia dengan cara yang baik.”
***
Waktu telah menjelang senja, cahaya yang berwarna kemerahan telah nampak di sebelah barat kotaku. Sebentar lagi keberadaan mentari akan di gantikan oleh hadirnya rembulan malam. Itu artinya suamiku akan pulang dari kantornya. Aku mulai menyibukkan diriku untuk menyiapkan air hangat untuk dia mandi, karena dia sudah terbiasa mandi dengan air hangat, menyiapkan peralatan mandinya, peralatan ibadahnya dan terakhir membuatkannya secangkir teh hangat untuknya. Tak lama dari itu suamiku telah datang. Dengan segera aku melangkahkan kakiku untuk membukakan pintu untuknya. Sebelum dia melangkah menuju kamar mandi dia masih beristirahat di sofa dekat tempat tidurnya, lalu menyeruput teh yang telah aku siapkan.
Kalian tahu apa yang aku rasakan?
Tentu saja aku bahagia. Aku bahagia karena kasih sayang yang aku harapkan kini telah kembali memelukku. Farhan kembali memerhatikanku. Dia juga sudah mulai berusaha membuka hati untukku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Surga (Tamat)
Short StorySemua anggota keluargaku semunya menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya. Mereka bisa bahagia, meski itu bukan pilihannya sendiri. Maka, aku yang mempunyai garis keturunan dari mereka harus terlibat perjodohan juga. Tetapi entah mengapa, aku mer...