4. Awal yang baik

714 42 3
                                    

Kasih Sayang Itu Mulai Tumbuh.

Sore ini aku dan keluarga besarku mengadakan acara kecil-kecilan dalam rangka selamatan ponakanku yang baru mengkhatamkan kajian Al-Qur'annya di musala Ummul Quro Surabaya. Semua saudara-saudaraku baik yang berada di Malang, Jember, DI Yogyakarta dan Bekasi telah berkumpul di rumah kakak tertuaku di Surabaya, yang tinggal bersama dengan kedua orang tuaku. Sedangkan aku berangkat dari rumah baruku di Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur, bersama suamiku.

Awan-awan kelabu telah hinggap di kaki langit nan luas itu. Senja pun menjelang petang. Lengkungan bulan sabit telah benar-benar menampakkan dirinya menggantikan sang surya yang telah beristirahat di istananya. Azan Maghrib pun telah mengalun merdu dari beberapa musala dan masjid yang ada di kota Surabaya. Kami telah menyibukkan diri untuk bermunajah kepada Rabb alam semesta dan khusyuk dalam ibadah masing-masing. Setelah melaksanakan shalat Isya berjemaah kami sekeluarga sudah siap menyambut para tamu yang sengaja kami undang untuk ikut serta mendoakan ponakanku, agar ilmu yang telah ia dapatkan di Ummul Quro dapat memberikan manfaat bagi orang-orang yang mengenalnya, juga bagi kehidupannya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, lebih-lebih dan yang paling utama memberikan manfaat fiddiin wal akhirah. Aamiin.

Acara selamatan itu pun dimulai dengan bertawassul kepada Rasulullah Muhammad Saw beserta keluarga beliau serta para tabiin, taabiit tabiin dan para masyayikh dengan harapan semoga leluhur-leluhur kami beserta semua keluarga kami baik yang telah pulang mendahului kami ataupun yang masih berada di dunia mendapatkan ampunan dari Allah Swt, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan tahlil dan terakhir ditutup dengan pembacaan doa yang dipimpin langsung oleh ayah mertuaku, Ayah Salman al Faridzi.

Acara selesai. Namun kami enggan untuk beranjak dari tempat duduk kami. Kami masih asyik ngumpul-ngumpul untuk melepaskan kerinduan karena telah lama berpisah. Saat itu akulah yang menjadi bahan pembicaraan karena statusku yang baru menikah beberapa bulan yang lalu. Terlihat suamiku menyunggingkan senyum di saat mereka menggurauinya. Ada kebahagiaan tersendiri dalam hatiku di saat melihatnya tersenyum, karena jujur selama aku hidup seatap dengannya tidak pernah ia sedikit pun mengumbar senyum di hadapanku.

"Alah. Farhan dan Najwa ini, kalian belum benar-benar tahu manisnya berkeluarga, makanya mereka masih malu-malu. Coba saja nanti kalau sudah tahu, hm. pasti ...," ucap Kak Fahri, kakakku yang nomor dua sambil melirik kami yang duduk berdampingan.

"Pasti apa, Kak?" celetuk Kak Ratih.

"Kalian ini, kayak orang enggak pernah menikah saja," sahut Weny 0, adikku yang menikah lebih dulu dariku.

Sesekali suara tawa kami menggelegar dalam ruangan itu menambah suasana makin haru.

Sejurus kemudian tampak ibuku membawa nampan yang berisi kue khas Surabaya, bersama ibu mertuaku--yang biasa kupanggil Bunda--yang juga menenteng ceret berukuran sedang yang berisi teh hangat untuk menemani kebersamaan kami. Mereka pun langsung mencomot potong demi potong kue itu untuk orang-orang terkasih mereka. Kak Rifqa yang ketika itu sedang menyuapi suaminya tidak sengaja melihatku yang hanya terdiam bersama Mas Farhan. Sebenarnya aku ingin seperti mereka. Kemesraan mereka membuatku iri, karena sejauh ini hubungan kami tidak berbeda dengan waktu kami masih lajang.

"Loh Najwa, Farhan kalian kok enggak ikut makan?"

Aku melirik ke arahnya dan tatapan kami saling bertemu. Ada desiran yang menggetarkan hatiku saat tidak sengaja menatapnya. Dengan segera aku menundukkan kepalaku.

"Lah, lah, lah. Ini kenapa, kok malah bengong, kayak orang gak rukun saja?" gerutu Weny.

Dia memang satu-satunya saudaraku yang paling cerewet. Takayal jika ada dia suasana hening akan jadi ramai.

Bidadari Surga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang