Hari pernikahan pun tiba, sesuai tanggal yang sudah disepakati sebelumnya. Entah harus bahagia atau bagaima dengan pernikahan ini, aku tidak tahu. Aku hanya berharap dengan hadirnya dia dalam hidupku akan memberi warna yang lebih cerah dalam lukisan sejarah hidupku, setelah ini.
Namun, rupanya untuk meraih harapan mulia itu, Allah memberiku ujian kesabaran yang tak pernah kuduga.
Selepas acara resepsi tadi, aku dan Mas Farhan memasuki kamar yang dikhususkan untuk kami berdua.
Aku terkagum-kagum melihat desain kamar pengantin yang disiapkan untuk kami. Tempat tidur yang dihias sedemikian rupa, membuat senyumku mengembang. Dinding-dindingnya ditempeli kain warna putih yang biasa dipakai di panggung pengantin, serta beberapa bunga hias yang menambah kesan indahnya. Di atas meja samping tempat tidur itu ada sebuket bunga mawar asli yang terpajang dengan rapi dalam pot kecil.
Aku beranjak mendekati tempat tidur. Duduk di sisi ranjang sambil membaui bunga mawar itu. Aku suka baunya, harum.
"Mandi dulu, enggak gerah apa?" Aku menoleh ke arah Mas Farhan yang membuka jasnya, lalu meletakkannya di sofa. Menyisakan kemeja putih yang masih membalut tubuhnya.
"Mas duluan, aja. Nanti aku ganti," sahutku, lalu kembali menciumi bunga mawar itu.
***
Aku dan Mas Farhan sudah sama-sama selesai membersihkan diri. Seharian menjalani kegiatan resepsi membuatku, tentunya Mas Farhan juga, lelah. Terlihat dari raut wajahnya yang kuyu, dan dia langsung memposisikan diri di tempat tidur untuk beristirahat.
Aku menghela napas berat. Firasatku tiba-tiba tidak enak melihat responsnya. Sedari tadi selesai bersih-bersih, Mas Farhan sama sekali tidak mengeluarkan ucapannya.
Masa saking kelelahannya sampe gak bisa ngomong sepatah kata pun, sih?
Mengabaikan pikiran anehku itu, aku membaringkan diri di samping Mas Farhan. Husnuzan, aja, deh. Mungkin dia benar-benar lelah. Belum sampai kepalaku menyentuh bantal, Mas Farhan tiba-tiba bangkit, membuatku kaget setengah mati, wkwk.
"Kenapa, Mas?" tanyaku tidak mengerti.
"Enggak. Lain kali kalau aku kita lagi berdua, pake hijab kamu." Raut wajahnya datar. Aku menatap tidak percaya ke arahnya.
Apa baru saja aku mendapat penolakan dari suamiku sendiri? Bahkan di malam pertama pernikahan kami?
Tanpa memberi respons apa pun, aku memilih membaringkan tubuhku lagi. Satu hal yang kembali memperjelas kata-katanya tadi, saat ia meletakkan guling di tengah tempat tidur sebagai pembatas, dan ia tidur membelakangiku.
***
Setelah melaksanakan salat Isya' berjemaah di kamar sebelah. Aku langsung masuk ke kamar dan segera berkemas-dandan, sedang Mas Farhan masih berada di kamar sebelah--tempat salat kami--menyelesaikan beberapa zikir rutin bacaannya setiap malam, katanya.
Aku memakai alat-alat make-up yang sebelumnya tak pernah kusentuh, hanya untuknya. Aku berdandan secantik mungkin untuk menyambut malam yang aku kira akan menjadi malam bahagia bagi kami, karena bisa menunaikan sunah Rasulullah. Namun, sepertinya apa yang aku lakukan mendapat respons negatif dari Mas Farhan.
Aku menundukkan kepala saat Mas Farhan memasuki kamar. Degup jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Aku tiba-tiba gugup.
"Mau ke mana, kok pake make-up?" tanyanya.
"Nggak ke mana-mana, kok." Aku tidak berani mengangkat wajahku karena malu.
"Mas udah siap, nggak?" Meski malu untuk bertanya, akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Surga (Tamat)
ContoSemua anggota keluargaku semunya menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya. Mereka bisa bahagia, meski itu bukan pilihannya sendiri. Maka, aku yang mempunyai garis keturunan dari mereka harus terlibat perjodohan juga. Tetapi entah mengapa, aku mer...