15.

672 34 0
                                    

Sejak itu sebenarnya tak ada perkembangan baik sedikit pun terhadap kondisiku. Kepala bagian belakangku semakin sering pusing. Aku mudah sekali merasa letih dan lemas. Akhir-akhir ini aku juga sering melihat bercak-bercak darah menetes dari rahimku saat aku ke kamar mandi. Hatiku pun mulai tak tenang dan pikiranku selalu gelisah.

Di saat seperti ini, ingin rasanya aku memberi tahu mas Farhan tentang kondisiku itu. Tapi rasa sayangku padanya telah mengalahkan rasa sayangku pada diriku sendiri, sehingga aku tak berani bercerita padanya. Aku tak ingin mengganggu kesibukannya mengelola kantor seorang diri. Aku tak ingin membuatnya gelisah dan akhirnya gagal fokus dalam pekerjaannya. Aku tetap bersikap biasa-biasa saja di depannya, walaupun terkadang sakit di perutku kian menyiksa. Aku diam-diam memeriksakan kandunganku pada dokter Anisa.

Pagi ini, karena semenjak usia kandunganku memasuki enam bulan aku sudah cuti dari kantor aku meminta waktunya sebentar sebelum berangkat untuk sekedar menemaniku berolahraga di taman belakang rumah kami. Aku ingin menghirup udara segar pagi itu bersama suami tercintaku.

“Mas.., kandunganku sudah hampir sembilan bulan kan, nanti kalau aku melahirkan mas mau kasih dia nama siapa?”

Aku dan Mas Farhan melangkah ke dekat pohon mangga di pojokan taman, lalu duduk di kursi kayu di bawahnya.

“Masih belum kepikiran.”

Dia menjawabnya dengan sedikit menyeringai.

“Najwa punya usul, gimana klo anak kita laki-laki kita kasih nama Mohammad Ali Ibrahim. Nanti kan bisa dipanggil Libra mas?”
“Nama yang bagus. Kalau perempuan?”
“Fatimah Alya.”
“Wow. Namanya bagus sekali sayang. Kamu dapat dari mana?”
“Gak tahu. Tiba-tiba muncul di pikiran.”
“Hebat... kamu memang istri yang paling bisa membuatku terkagum-kagum sayang. Mas beruntung sekali dapat dipertemukan dengan kamu.”

Dia mencium lembut keningku.

“Nanti kalau anak kita perempuan, Najwa pengen dia berjodoh dengan laki-laki yang punya nama Ali Ibrahim itu mas. Begitupun sebaliknya.”
“Sepertinya nama itu sangat berkesan buat kamu, kenapa?”
“Ya nggak tahu lah mas, cuma kayaknya bagus banget gitu klo Libra bersanding dengan Alya.”

Aku dan mas Farhan saling mengumbar senyum kami masing-masing. Allah. Begitu tenteram rasanya melihat senyumnya itu.

“Innaalillahi... perutku... sakit sekali...” Batinku.

Aku memegangi perutku erat. Wajahku mulai pucat dan kedua tanganku mulai gemetar. Dengan segera aku meminta Farhan agar cepat bersiap-siap ke kantor. Aku tidak ingin dia melihat deritaku ini. Farhan sudah melaju dengan Vario maticnya menuju kantor.

Maa Syaa'a Allah.. sakit di perutku semakin menyiksa. Tubuhku mulai gemetar. Rasanya tak kuat untuk berdiri pun. Dengan sedikit terbirit-birit aku melangkahkan kakiku menuju kamarku. Begitu tiba di kamar tubuhku ambruk di dekat tempat tidur. Perutku terasa sangat sakit. Ku paksakan tanganku untuk diangkat dan meraih ponselku, memanggil dokter Anisa.

Sejurus kemudian dokter Anisa tiba di rumah dan langsung mengambil tindakan melihatku yang mulai kejang-kejang. Dokter Anisa membantuku berbaring di tempat tidur dan beruntung dia kebetulan mengajak dokter Fajriya sehingga dia tidak kesulitan untuk membantuku.

“Apakah benar ibu Najwa akan mempertahankan bayi bu Najwa?”
“Iya dokter.”
“Tapi bu Najwa, kondisi kandungan anda sangat lemah.”

Dokter Anisa memasang wajah dengan ekspresi sangat gelisah.

“Dan itu akan berakibat fatal jika dilanjutkan bu Najwa. Nyawa anda akan terancam.”

Dokter Fajriya menguatkan kekhawatiran dokter Anisa. Ekspresinya pun tidak jauh berbeda dengan dokter Anisa. Aku menghela napas panjang. Menatap lekat dua wajah dokter cantik yang ada di hadapanku ini. Lalu berusaha menyampaikan argumentasiku untuk meyakinkan mereka.

“Jika memang saya harus mengorbankan nyawa saya demi mempertahankan bayi saya, saya ikhlash dok. Karena yang terpenting dalam hidup saya adalah melihat anak saya dalam keadaan baik-baik saja. Saya ingin dia juga bisa menikmati keindahan alam yang diciptakan Allah ini.”
“Tolong, jangan paksa saya untuk mengangkat bayi ini dari rahim saya. Saya yakin Allah tidak akan membuat saya tersiksa. Allah akan selalu menjaga dan melindungi anak saya.”

Beberapa bilur air mata telah menggenangi dua pasang mata bulat berwarna kebiruan itu. Dokter Anisa dan dokter Fajriya begitu terharu mendengar kata-kataku.

“Baiklah jika itu yang anda inginkan. Semoga apa yang anda katakan tadi seiring dengan ridho Allah bu Najwa.”
Ucap dokter Anisa sambil menyeka dua matanya yang basah. Aku dan dokter Fajriya mengamini doanya.

“Apakah pak Farhan sudah mengetahui kondisi bu Najwa?”
“Saya memang tidak pernah cerita kepada mas Farhan dok.”
“Loh... kenapa bu? pak Farhan suami ibu dan dia berhak tahu bu Najwa. Dia harus tahu.”
“Tidak dokter Anisa, tolong jangan ceritakan masalah ini padanya. Dia sudah terlalu sibuk mengurus perusahaan sendiri. Dia sudah banyak melakukan sesuatu demi menghidupi saya dan calon anaknya. Tolong dokter, saya mohon. Saya akan lakukan apapun saran dokter Anisa asalkan jangan kasih tahu masalah ini pada mas Farhan.”
“Ya sudah, klo begitu saya pamit dulu bu Najwa.”

Bidadari Surga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang