One-Five

1.4K 353 136
                                    












Seharian kencan, berakhir di laboratorium penelitian yeosang.

aku duduk bersimpuh duka, memandang san yang tengah dipersiapkan untuk menghadapi kematian keduanya.

rasanya sungguh campur aduk. aku sedih, namun lega juga karena pada akhirnya, aku bisa kembali bicarakan banyak hal dengannya.

kami berbincang banyak, tentang masa lalu kami yang masih san ingat dengan begitu rinci. kami sempat bicarakan rencana untukku mendatang dan hal-hal lainnya.

meski sering diakhiri dengan linangan air mata, tapi rasanya seperti bebas.

beban yang kutanggung sendiri, akhirnya bisa kubagi.

"livia..." panggil yeosang memecah sunyi.

aku menatapnya yang berada di pintu ruang penelitiannya, tampak memberiku isyarat kalau dia sudah selesai bekerja, dan saatku untuk menyempurnakan pekerjaannya.

aku paham, aku berjalan masuk ke dalam.

di sana ada san, yang berdiri di alat penyangga, tempat pertama kali kulihat dirinya setelah dia dinyatakan tiada.

hatiku berat rasanya, namun berbeda dengan langkah kaki yang amat leluasa. pada akhirnya aku sampai juga di hadapannya.

san menatapku dengan wajah tanpa ekspresinya, seperti biasa. dan seperti biasa itu pula aku akan membalasnya dengan senyuman.

"aku mulai..."

memang untuk kerangka tubuh secara keseluruhan adalah hasil kerja yeosang, namun untuk penggerak kehidupan- bisa diistilahkan dengan organ dalam yang menyokong kehidupannya- adalah murni buatanku.

tidak ada yang bisa menonaktifkannya secara permanen kecuali aku.

"rasanya sakit." ujarku tiba-tiba, seraya memutus satu per satu sistem kerja tubuh androidnya dimulai dari rangka gerak bawah. ketika aku memutusnya, san tidak akan bisa berjalan lagi.

"aku membunuhmu."

san tidak membalas ucapanku. dia malah berkata diluar topik.

"apa kamu bakal kembali ke rumah sakit? kamu belum sembuh total." tanyanya dan kuanggap itu sebagai bentuk kepedulian.

dia peduli padaku, dan itu menyakitiku. aku hampir menangis namun kutahan kuat. "i-iya, nanti aku kembali ke rumah sakit."

"bagus." singkatnya membalas. "terus jadi gadis yang baik dan gak keras kepala seperti ini, ya, livia... orang-orang bakal lebih mudah ngerawat kamu setelah aku pergi lagi."

kepalaku menunduk dalam, berusaha keras menyembunyikan air mata yang san sadari keberadaannya.

tangannya menyentuh ujung kepalaku, "jangan pernah menyesal untuk apa yang udah terjadi sama aku, livia. semua itu bukan salahmu."

"kalau hari itu aku gak bilang aku kesal karena dimarahin yeosang, apa hari ini gak akan pernah terjadi?"

"hari ini akan tetap terjadi." san menatapku dengan sirat lain darinya, entah mengapa rasanya aku benar-benar sedang berbicara dengan san.

"meski aku gak dateng untuk jemput kamu hari itu, dengan cara lain- aku pasti akan tetep mati, kemudian kamu hidupkan lagi dalam wujud ini. semua ini takdir, paham 'kan? itu bukan salahmu." aku menutup mataku rapat, membebaskan airnya mengalir deras. berusaha menerima fakta tapi sebenarnya hati ini belum sepenuhnya terima.

aku tetap menyalahkan diriku untuk kematian san hari itu.

"livia... kamu selalu bilang alasanmu menghidupkan kembali aku karena kamu gak tau apa yang harus kamu perbuat tanpa aku. sekarang aku kasih tau. yang perlu kamu lakukan cuma satu; teruslah hidup tanpa aku."

"san..."

"makanlah, minum yang banyak, bernapas dengan baik walau hidungmu kesusahan menghirup udara setelah nangisin aku. kalau kamu udah bisa hidup dengan baik dan seperti biasanya, carilah kebahagiaan lain."

"san, kamu sumber dari kebahagiaanku. gimana bisa aku cari kebahagiaan selain kamu?"

"gimana sama waktu orang tuamu pergi dulu? kamu bahkan gak menghidupkan mereka kayak aku sekarang setelah otakmu mempelajari banyak hal."

aku hanya diam, tak mampu membalas ucapan san.

iya, penggunaan 100% logikanya itu mampu hasilkan kata-kata yang sanggup menutup mulutku. dan dari san lah aku tau bahwa istilah 'kadang kenyataan itu lebih menyakitkan'- benar adanya.

"sama seperti kebahagian yang bisa kembali kamu temukan setelah kematian orang tuamu, kamu pasti bisa juga bahagia lagi setelah kepergianku. kamu cuma perlu hidup dengan benar, kebahagiaan gak terduga bakal dateng sendiri."

klik!

tombol penonaktifan yang ada di bagian dadanya sudah kutekan, dengan begini keseluruhan sistem yang bekerja pada sistem androidnya akan nonaktif secara perlahan.

"livia, berbahagialah tanpa aku. dunia masih sangat luas untuk kamu temukan beragam kebahagiaan. setelah itu, kamu bakal lupa sama bagaimana sakitnya kehilangan."

pertahananku runtuh. berulang kali aku berusaha menahan air mata, pada akhirnya tumpah juga di hadapan sang tercinta.

aku menangis sambil menggenggam tangan san, tak berani menatap matanya.

"jangan merasa bersalah karena kamu bakal ngelupain aku suatu saat nanti, itu udah jadi takdir mereka yang mati. jangan nangis lagi, anak manis." sebelah tangan san dia gunakan untuk mengusap kepalaku lagi.

aku makin kencang menangis.

"aku cinta kamu, san. aku bener-bener cinta sama kamu." rasanya jika ratusan kali kuucap pun tetap tak cukup.

namun san tetap akan membalasnya.

"aku juga cinta kamu livia. sangat, sampai rasanya hati buatanku mau meledak."

dan itu adalah kalimat terakhir yang kudengar, sebelum san menutup mata untuk selamanya.






END









Emmm....


Aku tau cerita ini gaje


TAPI TERIMA KASIH BANYAK UNTUK KALIAN YANG SETIA BACA, LIKE + KOMEN❤❤💙💜💚💛💚💙❤❤💛💚💜💙❤💙❤💙❤💚💜💚💛💙💜💙❤💙❤💙❤❤💚❤💚💚💛💙💛💛💙❤❤❤❤❤ ga tau lagi mau bilang makasihnya gimana😭😭😭❤❤❤


Oke, karena cerita ini gak 'sebesar' Heavenly Pain, aku bakal minta pendapat kalian secara keseluruhan tentang cerita ini. Kalau ada yang mau disampein juga...


Di sini aja...


Intinya, terima kasih banyak dan sampai jumpa di work Choi San selanjutnya^^

DON'T KNOW WHAT TO DO : Choi San ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang