Zero-Eight

1.6K 418 78
                                    















aku pulang lebih awal, semua karena kang yeosang.

ya tuhan aku bertanya kapan kiranya aku punya sehari saja tanpa yeosang menghancurkannya.

bersama wooyoung, perjalanan pulangku berlangsung hening. tatapanku mungkin kosong, namun kepalaku penuh.

yang yeosang lakukan akan menyita pikiranku seminggu ke depan. apa dia puas? aku tidak akan tidur nyenyak kedepannya.

ada satu yang buatku fokus, tentang toko seafood yang kulalui. mataku berbinar, sekilas mengingat bahwa di rumahku ada san—— aku hampir teriak untuk berhenti dan membeli beberapa bahan seafood mentah untuk makan malam kami.

ya, hanya sekilas saja—— sebelum kuingat san dan aku tak lagi mengkonsumsi makanan yang sama.

“livia...,” ah, agaknya wooyoung menyadarinya. aku segera menatap dan mengukir senyum padanya.

“kamu mau beli?” aku menggeleng, namun tak tau yang lelaki itu pikirkan—— dia malah berhenti di pinggir jalan dan meninggalkanku di mobil sendirian.

aku sempat kebingungan, namun tak lama wooyoung kembali dengan sebuah bungkusan—— bahan mentah seafood yang sesuai dengan kesukaan san.

“makanlah waktu dia juga 'makan', obrolin hal indah semasa san hidup. buat dia inget kamu dan perasannya yang dulu.” ucapnya sambil melajukan mobil kembali, aku tersenyum getir.

“wooyoung, kenapa?”

“hm?”

“kenapa kamu hidupin san?” wooyoung diam, entah sedang fokus atau memang tak punya jawaban.

yang kutahu pasti, wooyoung gunakan uangnya untuk membayar yeosang—— tentu dalam upaya membuat R01.

maka dari itu, aku perlu tau kan?

wooyoung tetap diam, masih diam sampai aku tiba di rumah.

dia menghantarku sampai depan pintu, aku sempat berhenti saat akan membukanya. aku menatap wooyoung.

“kenapa?”

“wooyoung, maaf kalau selama ini aku sering ngajak kamu berantem, berdebat untuk urusan kecil. dan terima kasih untuk yang kamu lakukan, terima kasih untuk kembali menghadirkan san.” mungkin ini kali pertama aku memulai senyum pada lelaki itu.

wooyoung mengelus kepalaku lalu membalas senyum serupa, “bayar aku pakai kebahagiaanmu, bayar aku pakai kebahagiaanmu sama san. itu udah lebih dari cukup.”

kami sempat diam dengan agenda balas-balasan senyum, sebelum tak lama saat aku membuka pintu—— san ada di depanku dengan wajah dinginnya.

“san..., aku...” belum sempat ucapanku selesai, san berbalik pergi. tanpa sambutan bahkan pelukan, salah satu bentuk perbedaan san setelah penciptaan.

“aku pulang aja deh,” tak lama wooyoung pamit pulang. aku mengizinkannya tanpa memintanya masuk dan mengobrol dengan san, percakapan kami sampai di sana saja.

“san, sejak kapan kamu di balik pintu?” aku langsung bertanya begitu masuk rumah, sembari sempatkan diri menaruh belanjaan yang wooyoung beli tadi.

“aku di sana sejak kamu berangkat.” aku diam, membiarkan san yang mondar-mandir melakukan urusannya.

jadi berpikir, aku pergi kira-kira sampai 5 jam sampai aku pulang tadi. itu berarti san ada di sana sejak 5 jam yang lalu?

“kamu berdiri di sana selama itu?”

“iya.”

“kamu gak pegel?” kemudian san berhenti,  menatapku dengan wajah yang bersih dari ekspresi.

“aku gak akan ngerasa pegel, aku gak akan ngerasa laper dan aku gak akan ngerasa ngantuk. see? i'm not a human anymore.”

ah..., lagi?

dia bicara tanpa berpikir dulu.

tidak, aku rasa dia memikirkannya. dia hanya...,

tak memikirkan perasaanku.

salah satu dari banyaknya pembeda antara san dan R01; san sangat emosional, sedangkan R01 cenderung berpikir rasional.

tentu saja, dia tidak dilengkapi perasaan selengkap yang tuhan ciptakan. aku menahan diri agar tak mengeluh, tapi tak ada yang tau sampai mana aku bisa tahan.

i see...,”

“yang tadi itu, wooyoung ‘kan?”

“iya. kamu ingat?”

“aku rasa san punya ingatan lebih banyak bareng wooyoung ketimbang bareng kamu.” aku paham, mereka memang sudah lama menjalin persahabatan.

sembari memasak, tak ada obrolan berarti antara kami. memang, san jauh lebih pendiam dari pada dirinya yang dulu.

dan aku terus berusaha beradaptasi dengan dirinya yang baru.

“livia, badanku berat.” aku segera menghentikan kegiatan masakku dan menghampiri san.

“kamu belum charging?”

“gimana bisa kalau kamu sibuk terus?” aku khawatir, namun sempatnya tersenyum. padahal dia bisa bilang kapan saja untuk charging, aku tidak akan direpotkan banyak untuk melakukannya.

apa dia juga memikirkan kesibukanku?

“sebentar, aku ambilin charger-nya dulu.”

seperti android lainnya, san juga butuh diisi baterainya. kalau untuk istilah manusia, anggap saja charging sama saja dengan makan.

tidak merepotkan untuk melakukannya, san hanya akan diam dengan kabel yang menghubungkan tubuhnya dengan sumber daya. aku bisa kembali masak dan makan sesegera mungkin.

kini, di meja yang sama, kami duduk saling berhadapan. aku tidak melihatnya, tapi aku tau san memperhatikanku makan sejak tadi.

itu juga alasanku berhenti.

“san, kenapa?” aku bertanya, san hanya menatapku sekilas lalu memandang masakanku.

“bentuk makanan buatanmu bagus, aku mau coba tapi gak bisa.”

“iya..., jadi kamu liatin aja ya? haha.” aku berusaha membuat tawa itu senatural mungkin, meski rasanya terkoyak kuat di dalam.

tiba-tiba saja, sendok-ku di rampas. san menyendok makananku dalam ukuran besar dan aku memekik.

“san! kamu gak boleh makan itu!”



“san! kamu gak boleh makan itu!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DON'T KNOW WHAT TO DO : Choi San ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang