08. Lugu

11.3K 1.2K 33
                                    

Ayunda P.O.V.

Gadis yang pertama kalinya kutemui di kantor Karin dua minggu lalu itu ternyata kini menjadi asisten pribadi ku.

Kalau bukan karena dia yang papa tempatkan pada posisi itu, mana mungkin kuterima tawaran mengurus perusahaan ini. Karena jujur, aku lebih suka dunia modelling. Lewat dunia itu, aku bisa menginspirasi dan memotivasi sekian banyak orang. Aku bahagia ketika kalimatku bisa membuat orang lain semangat.

Tetapi tak apa. Aku tak menyesal mengambil keputusan itu. Entah mengapa, begitu tau bahwa gadis kecil itu yang akan menjadi asisten ku, aku jadi ingin menerima tawaran papa.

Berbicara mengenai dia, sebenarnya di awal pertemuan aku tak tertarik sama sekali padanya. Aksen jawa dan kalimatnya yang sering terlihat gugup itulah yang akhirnya menjadi ketertarikan sendiri. Ia seperti apa ya? Mudah gugup.

Seperti saat pertemuan ketiga kami. Saat ia menghampiriku di ajang festival busana batik. Lalu mengutarakan keinginannya mengatarku pulang.

"By the way, Mbak Ayu kesini nyetir sen-sendiri?"

"Memangnya ada apa?"

Biar kutebak, ia pasti berencana mengatarku pulang.

"Ndakpapa sih mbak. Saya nanya aja"

"Oh, yaudah deh"

Aku sengaja menggodanya. Ingin melihat reaksi yang ditunjukkan. Padahal sebenarnya, aku sudah cukup hafal dengan trik-trik pasaran mendekati seseorang macam begini.

"Kalau mbak Ayunda sendirian, sa-saya mau antar sampean pulang"

Nah kan, tebakan ku benar. Ku beri dia senyum sekilas, "o gitu, haha, makasi ya. Tapi aku di antar supir kok kesininya"

Sebenarnya aku membawa mobil sendirian. Mana mungkin aku mau diikuti supir dan orang-orangnya papa. Bukan sombong, tapi sejak kecil aku sudah berlatih agar tak terlalu bergantung pada orang lain.

"Syukur deh mbak. Sa-saya pikir nanti Mbak Ayunda pulangnya sendirian"

"Emang kenapa kalo sendirian?" tanyaku masih berusaha menggodanya.

"Ah, itu. Kan su-sudah malam"

See? Dia gugup. Aku tak tau mengapa. Selama ku ajak bicara, ia selalu seperti itu. Padahal kalau kulihat, gugupnya itu tak ketara jika sedang berbicara dengan Karin.

Malam itu, akulah yang keluar sebegai pemenang debat antara aku dengan Kania. Dalam hati, aku senang sebab berhasil membuatnya kalah akibat argumennya sendiri. Haha.

Sejak itulah, aku cukup tertarik padanya. Aku jadi ingin berteman dengan dia. Dari wajah hingga perilakunya terlihat kalau ia memang bocah polos yang tak pandai berbohong. Jaman sekarang sulit mencari teman seperti itu, benar kan?

Kutau tempat tinggalnya di Jogja. Sebab itulah, tiba-tiba keinginan ku muncul untuk berinvestasi di salah satu anak perusahaan papa di Jogja. Aku ingin berteman dengannya, jadi aku harus tinggal dikota tempat ia tinggal. Bukan begitu?

Tapi sayang. Belum sempat terelisasi keinginanku, orang-orang Papa sudah membawa ku kembali ke Jakarta. Padahal selama tiga hari aku di Jogja itu, sama sekali belum kutemui Kania. Kemana dia? Padahal sudah kudatangi kantor Karin--tempat adik keduanya belajar modelling.

Dan baru sekali itu, ku syukuri kepulanganku kembali ke Jakarta. Sebab saat berada di ruang Papa, kulihat dia untuk yang ke empat kalinya. Oke. Ini artinya aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bisa berteman dengan Kania. Betul kan?

My Gorgeous CEO [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang