01. Harapan

3.1K 238 9
                                    

Jangan lupa vote dan komen!

Selamat membaca♡

•••

"Kamu ngapain di sini, Mbak?"

Rana yang sedang memasak di dapur menoleh menatap ibunya. "Masak oseng tempe, Bu."

"Udah, kamu enggak usah bantuin ibu, tidur lagi atau belajar sana, ini masih jam tiga pagi," ujar Laras kemudian mengambil alih pekerjaan anaknya. "Kamu kan hari ini ada ujian, nanti kamu enggak bisa ngerjain."

"Kan cuma try out, Bu."

"Ibu percaya kamu bisa, tapi kamu enggak boleh gampangin kayak gitu," oleh Laras. "Udah balik ke kamar, tidur lagi atau belajar aja, ibu bisa kerjain sendiri."

"Iya, Bu."

Rana akhirnya mengalah, ia segera mencuci tangannya yang kotor karena bumbu-bumbu masakan. Rana menatap ibunya yang sesekali batuk-batuk itu. Ia menghela napas pelan, meski sedang sakit, sang ibu tetap saja kukuh tidak ingin merepotkannya atau Ragil –adiknya. Dengan berat hati Rana meninggalkan dapur dan kembali ke kamar dan membuka buku latihan ujian masuk perguruan tinggi negeri yang ia peroleh dari pasar loak beberapa pekan lalu. Namun tidak ada yang bisa dikerjakan lagi, karena memang semua soal di buku tebal itu sudah Rana habiskan.

Bagi Rana, soal-soal itu terlalu mudah, jadi ia bisa menyelesaikan soal-soal yang bisa dibilang sulit itu dengan cepat. Rana mulai menguap, namun ia memilih untuk tidak kembali tidur mengingat sebentar lagi azan subuh segera berkumandang. Rana mengambil buku fiksi ilmiah yang ia dapat secara cuma-cuma dari tetangganya yang berprofesi sebagai pemulung yang berbaik hati memberikan buku itu padanya, Rana mulai membaca buku itu.

Dari beribu-ribu atau bahkan ratusan anak yang kurang beruntung di dunia, memang Rana termasuk ke dalamnya. Ah, tidak, Rana tidak mau bahkan tidak pernah menyebut dirinya sebagai anak kurang beruntung, ia selalu merasa lebih beruntung karena masih memiliki ibu yang begitu menyayanginya. Ya, setidaknya tidak separah anak-anak lain yang ditelantarkan orang tuanya, bahkan ada yang tidak tahu siapa orang tuanya. Rana merasa, ia lebih beruntung dari mereka, dan ia selalu bersyukur untuk itu.

Rana hidup bersama ibu dan adiknya setelah sang ayah pergi meninggalkan mereka saat usia Rana baru menginjak dua tahun. Iya, mereka ditelantarkan oleh ayah mereka begitu saja. Sang ibu ditinggal tanpa surat cerai, bahkan tidak ada kata pisah. Ayah Rana pergi begitu saja, meninggalkan sang ibu yang sedang hamil Ragil dan tentu saja meninggalkan Rana yang waktu itu belum mengerti apa-apa.

Jika Rana ditanya siapa sosok yang ia kagumi?

Satu-satunya jawaban yang Rana miliki hanyalah ibunya.

Rana begitu mengagumi dan menyayangi sang ibu. Bagaimana tidak? Laras sudah membesarkan dan merawatnya serta Ragil seorang diri. Bukankah tidak mudah membesarkan dua anak sendiri? Ditambah Laras harus mencari mata pencaharian untuk menghidupi anak-anaknya. Oh, tidak soal menghidupi, tapi Laras juga harus mendidik anak-anaknya. Terkadang Rana bertanya-tanya bagaimana bisa Laras bertahan selama ini? Namun, semakin ia dewasa, Rana semakin mengerti. Yang membuat Laras bertahan, tentu saja karena ia adalah seorang ibu.

Di dunia ini, tidak ada satu pun ibu yang benar-benar ingin anaknya kenapa-napa.

Sekarang sang ibu memilih berjualan gorengan dan nasi bungkus setelah keluar dari pabrik karena kesehatannya yang tidak kunjung membaik. Meski penghasilannya tidak sebesar saat ada di pabrik, namun Rana bersyukur karena sang ibu banyak beristirahat di rumah. Sebenarnya Rana sangat ingin bekerja untuk membantu keuangan keluarganya, terlebih sekarang ia sudah lulus SMA. Namun Laras melarangnya, karena Laras ingin anak-anaknya fokus sekolah agar tidak sepertinya yang hanya tamatan SD, Laras ingin anak-anaknya berpendidikan tinggi.

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang