Hayooo siapa yang nungguin Renjana~
Yuk vote dulu!
Selamat membaca <3
***
Setelah beberapa hari dirawat, kondisi Biru perlahan membaik, anak laki-laki itu bahkan sudah bisa bermain dengan pasien anak-anak yang lain. Selama Biru dirawat, Rana juga selalu menemani Biru dan absen masuk kerja. Untungnya Bisma memilih menetap di Indonesia lebih lama untuk membantu Rana merawat Biru, karena Ragil tidak bisa pulang karena jadwal penerbangannya padat, begitu juga dengan Rangga.
Rana yang sebelumnya benar-benar cemas dan hampir gila karena Biru yang sempat kritis, kini bisa bernapas lega dan kembali tersenyum ketika melihat Biru sudah bisa kembali ceria. Rana menghela napas pelan ketika melihat Biru kini sedang bermain dengan anak-anak lain yang juga sedag dirawat tetapi masih bisa bergerak bebas.
Melihat anak-anak yang sedang dirawat itu bermain dengan bebas membuat Rana iba sekaligus iri. Ia iba karena di usia yang masih belia anak-anak itu sudah harus diuji oleh Tuhan dengan cobaan berupa penyakit yang mereka idap. Dan Rana merasa iri, meski diuji dengan penyakit dan harus merelakan masa bermain mereka di rumah sakit, tetapi mereka masih bisa tertawa. Bukankah anak-anak itu begitu tangguh dan mengagumkan?
"Ayah!" Biru berseru ketika melihat seseorang yang masih berada di lorong rumah sakit, ia segera berlari menghampiri laki-laki yang juga sedang merentangkan tangannya dan tersenyum lebar itu, Rangga. "Aku kangen sama ayah!"
"Ayah juga kangen sama Biru." Rangga mendekap erat laki-laki kecil itu.
"Biru, jangan lari-lari kayak tadi, kan Biru baru sembuh." tegur Rana yang kini sudah berada di dekat ayah dan anak itu. "Nanti makin lama loh di rumah sakitnya kalau Biru enggak nurut."
"Udah, jangan dimarahin Biru-nya, Ra," Rangga bersuara membela Biru, membuat Rana menatapnya tak suka. "Lagian kan Biru udah sembuh, iya, kan?"
Biru mengangguk. "Aku udah boleh pulang kok, Yah," jawab Biru bersemangat. "Terus habis keluar dari rumah sakit, aku sama bunda mau ikut pulang grandpa pulang ke Kanada. Iya, kan, Bun?"
Rangga yang menatap Rana seolah menuntut penjelasan, tetapi Rana hanya tersenyum kikuk. "Biru main lagi sama temen-temen, ya," ujar Rangga sambil menurunkan Biru dari gendongannya. "Ayah sama bunda mau bicara sebentar."
Biru mengangguk. "Nanti kalau udah selesai bicara, panggil aku ya, Yah."
Rangga mengiyakan, membiarkan Biru kembali bermain. Sementara ia menggiring Rana untuk duduk di salah satu bangku rumah sakit yang tidak jauh dari tempat Biru bermain, tetapi suasana di kursi itu lebih kondusif dan tidak ramai.
"Jadi, bisa kamu jelasin apa maksud Biru?"
Rana menghela napas pelan dan tersenyum. "Aku emang berencana pulang ke Kanada sama Biru setelah dia keluar dari rumah sakit," jelas Rana. "Aku udah bicara sama bapak masalah ini, dan bapak mendukung."
"Kerjaan kamu gimana?"
"Aku keluar," Rangga terlihat begitu terkejut dengan pernyataan Rana. "Kejadian beberapa hari ini ngebuat aku sadar kalau enggak ada hal lain yang lebih penting daripada Biru, termasuk pekerjaanku," jelas Rana. "Selama ini aku selalu sibuk sama pekerjaanku, sampai-sampai kadang enggak ada waktu buat dia," Rana menghela napas pelan, ia kembali tersenyum. "Tapi aku enggak bener-bener berhenti, aku cuma keluar dari perusahaanku, dan akan kerja sebagai pekerja lepas."
Rangga terdiam sejenak. "Apapun keputusanmu, aku akan selalu dukung kamu."
"Thanks, Mas," Rana tersenyum, kemudian ia teringat sesuatu. Rana melihat sesuatu yang melingkar di jari manis tangan kanannya, sebuah cincin bermatakan berlian yang selama hampir dua tahun ini selalu ia kenakan. Perlahan Rana melepaskan cincin itu. "Beberapa hari ini aku juga mikirin jawaban yang kamu minta sejak dua tahun lalu," Rana meletakkan cincin itu di meja. "Aku enggak bisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana
General Fiction[Selesai] Sekeras apapun kau melupakannya, itu hanya akan sia-sia, karena berusaha melupakan adalah kata lain dari memupuk rasa. Dan pada akhirnya, kau semakin ingin memilikinya. - Renjana - Jumat, 27 Maret 2020 *** Selesai, Sabtu, 29 Agustus 2020