Jangan lupa vote dan komen <3
Selamat membacaaa~
***
"Biru—"
"Biru!"
Rangga dan Bara buru-buru mendekati Biru yang terkulai di jalan, dua laki-laki itu terlihat panik melihat keadaan Biru yang sudah bersimbah darah. "Telepon ambulans sekarang," titah Bara pada Rangga dan langsung di lakukan Rangga. "Biru! Biru!" Bara mencoba memanggil Biru sambil menepuk bahu Biru, memastikan kesadaran anak laki-laki itu, tetapi tidak ada respon dari Biru. Dengan cekatan Bara segera melakukan pertolongan pertama Biru. Sementara itu Rana yang masih terduduk di trotoar hanya bisa menatap Bara dan Rangga yang sedang memberikan pertolongan pertama pada Biru, tenaga Rana sudah seperti terserap habis sekarang, bahkan untuk bernapas pun sudah terasa sesak.
Tak lama ambulans datang, Bara pun segera menjelaskan kondisi Biru pada petugas medis yang sudah membawa masuk Biru ke ambulans. "Lo urus Rana, gue urus Biru." ujar Bara pada Rangga yang lebih terdengar seperti perintah di telinga Rangga, tetapi Rangga tidak membantah dan segera mendekati Rana.
"Kamu masih kuat?" tanya Rangga yang kini sudah berjongkok agar sejajar dengan Rana. "Kamu di rumah aja kalau enggak kuat, biar aku yang urus Biru."
Rana menggeleng. "Aku ikut ke rumah sakit."
Rangga mengangguk, ia bergegas memanggil taksi yang kebetulan lewat untuk segera mengikuti ambulans yang sudah pergi ke rumah sakit lebih dulu. Perlahan air mata Rana luruh, ia mulai terisak karena kejadian yang baru saja terjadi masih begitu membekas di ingatannya. Bagaimana Biru berlari riang menghampiri Rangga yang sedang menyebrang jalan, bagaimana Biru tertabrak dengan kencang oleh sebuah mobil yang melaju kencang, bagaimana Biru terkulai lemah di jalan, dan bagaiamana Biru mengeluarkan banyak darah. Semua itu sseperti mimpi buruk bagi Rana. Tidak, Rana harap ini hanya mimpi buruk.
Kini dengan ditemani Bara dan Rangga, Rana menunggu Biru yang sedang di depan ruang operasi. Ya, anak laki-laki Rana itu memang harus menjalani operasi karena suatu hal yang sulit Rana mengerti, yang ia tahu saat ini, ia sangat mengkhawatirkan Biru. Ia hanya ingin operasinya cepat selesai dan membuahkan hasil yang baik.
Sebuah tangan hangat merengkuh Rana, mencoba memberikan ketenangan untuk Rana yang sedang terguncang. "Biru anak yang kuat, kita harus percaya sama Biru." ujar Rangga memberikan kekuatan. Namun sepertinya kalimat penenang tidak akan ampuh untuk Rana di saat-saat seperti ini.
Seseorang keluar dari ruang operasi dengan buru-buru, entah dokter atau perawat, tapi orang itu menghampiri Rana. "Anda ibu dari pasien?" Rana membenarkan. "Pasien kehilangan cukup banyak darah," jelas orang itu. "Saat ini kami kekurangan darah golongan A, dan kami membutuhkan donor darah golongan A, apakah anda bergolongan darah A?"
Rana menggeleng pelan. "Golongan darah saya B."
Orang itu menatap Bara dan Rangga bergantian. "Apakah ada kerabat pasien yang bergolongan darah A?" tanya orang itu. "Atau ayah dari pasien mungkin?"
Rangga terdiam, ia tidak memiliki golongan darah yang sama dengan Biru. "Golongan darah saya A," Rangga menatap Bara yang kini sudah berdiri. "Silakan ambil darah saya."
Orang itu mengangguk. "Baik, Bapak, silakan ikut saya."
Rana terdiam, menatap Bara yang kini mengikuti orang tadi menuju suatu ruangan. Rana tahu, ini adalah saat ia harus menerima semua, termasuk menerima Bara mengetahui rahasia yang sudah ia simpan rapat-rapat selama ini. Tapi daripada cemas karena Bara akan mengetahui kebenarannya, saat ini Rana lebih cemas dengan keadaan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana
General Fiction[Selesai] Sekeras apapun kau melupakannya, itu hanya akan sia-sia, karena berusaha melupakan adalah kata lain dari memupuk rasa. Dan pada akhirnya, kau semakin ingin memilikinya. - Renjana - Jumat, 27 Maret 2020 *** Selesai, Sabtu, 29 Agustus 2020