Yuk vote dulu!
Selamat membaca <3
•••
Seperti janjinya dengan salah seorang orang tua temannya kemarin, pagi ini Rana pergi ke rumah wanita itu. Meski sedikit gugup dan ragu, namun Rana merasa bertanggung jawab karena sudah berjanji akan datang pagi ini. Berbekal alamat rumah yang ia dapatkan kemarin sore, Rana mencari rumah wanita itu yang ternyata berada di kawasan elit.
Sungguh, Rana merasa malu ketika menatap rumah-rumah itu, bahkan saat Rana baru saja memasuki gerbang kompleks. "Ada perlu apa, Dik?" tanya seorang petugas keamanan yang sepertinya menyadari bahwa Rana kebingungan.
"E—saya mencari alamat rumah ini, Pak." jawab Rana sambil memperlihatkan selembar kertas yang berisi alamat rumah itu.
Petugas keamanan itu mengangguk mengerti. "Mbak asisten rumah tangganya Bu Rosa yang baru ya?"
"E—"
"Ini dari sini mbak lurus aja nanti ketemu perempatan pertama belok kanan, rumah nomor tiga di kanan jalan. Rumahmya paling besar, nanti ada nomor sama nama pemilik rumahnya, Rahadian Mahendra."
Belum sempat Rana menjelaskan, laki-laki paruh baya itu memotong kalimatnya. Namun Rana memilih bergegas pergi mencari rumah Rosa, seperti arahan petugas keamanan itu, perempatan pertama, belok kanan, rumah nomor tiga di kanan jalan, dan jangan lupakan, rumah paling besar. Tidak butuh waktu lama Rana sudah menemukan rumah yang dimaksud petugas keamanan tadi, rumah nomor tiga di kanan jalan, yang paling besar dan terdapat papan nama Rahadian Mahendra.
Rana terpaku ketika melihat rumah itu, begitu megah dan mewah, berbanding terbalik dengan rumahnya.
Ragu-ragu Rana menekan bel yang ada di luar pagar rumah itu. "Halo, dengan siapa?" tanya seseorang yang berbicara entah di mana, namun suara orang itu berasal dari speaker bel rumah itu. "Mbak?"
Rana terkejut saat seseorang yang mengajaknya berbicara mengetahui bahwa dirinya seorang perempuan, Rana menatap sekitar, apakah ada kamera pengintai?
"Maaf, saya Rana, Sasikirana—"
"Oh, Mbak Rana," ujar orang itu yang seolah sudah menunggunya. "Silakan masuk, Mbak, ibu sudah menunggu."
Tak lama pintu gerbang kecil terbuka, Rana memberanikan diri untuk masuk dan tidak lupa menutup kembali gerbang itu. "Selamat datang, Mbak Rana," Rana hampir meloncat ketiga mendapati seorang wanita muda, berusia sekitar dua puluh tahunan, menyapanya. Rana tersenyum kiku. "Silakan, Mbak."
Rana menatap rumah itu dengan saksama, begitu luas dan mewah. Dengan gaya arsitektur modern, namun tetap asri dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh hijau di pekarangan, keasrian rumah itu ditambah dengan adanya kolam ikan yang sepertinya dibuat mengelilingi rumah. Mata Rana berkelana menyusuri setiap sudut rumah yang kebanyakan furniturnya terbuat dari kayu jati itu, didesain minimalis tetapi tidak meninggalkan kesan mewah dan tentunya sangat nyaman untuk dihuni.
Hal tersebut sangat berbeda dengan rumahnya yang berada di pemukiman kumuh dan padat penduduk, rumah Rana mungkin tidak lebih besar dari ruang tamu rumah Rosa. Di rumah ini mungkin orang-orang tidak perlu takut kedinginan saat musim hujan tiba karena memiliki penghangat ruangan, dan tidak perlu khawatir saat kepanasan di saat musim panas tiba, rumah ini memiliki pendingin ruangan di setiap ruangan. Hal yang tidak pernah bisa Rana dapatkan di rumahnya yang lembab, berdebu, dan banyak nyamuk.
Ya, tidak heran jika Rosa berani membayar uang kuliahnya demi membuat Rana mau membantu anaknya belajar.
"Selamat datang di rumah tante, Rana," ujar Rosa dengan ramah. "Tante kira kamu enggak jadi ke sini," Rana tersenyum kikuk. "Kamu langsung ngajar anak saya aja ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana
General Fiction[Selesai] Sekeras apapun kau melupakannya, itu hanya akan sia-sia, karena berusaha melupakan adalah kata lain dari memupuk rasa. Dan pada akhirnya, kau semakin ingin memilikinya. - Renjana - Jumat, 27 Maret 2020 *** Selesai, Sabtu, 29 Agustus 2020