Jangan lupa vote dan komen <3
***
"Lecek banget sih muka lo, Ra."
Bara menghela napas pelan ketika Bayu masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu atau permisi terlebih dahulu. "Lo bisa permisi dulu nggak sih?" omel Bara. "Ruangan gue bukan warteg, lo enggak bisa keluar-masuk sesuka hati lo."
Bayu mengernyit aneh. Sepertinya memang ada sesuatu yang benar-benar menganggu Bara hingga membuat laki-laki itu bersuara ketus, meski sebenarnya Bara memang sering berbicara dengan ketus, namun Bayu cukup bisa membedakan suara ketus Bara. Dan sepertinya saat ini suara ketus itu berasal dari suasana hati Bara yang sedang tidak baik.
"Lo enggak lagi PMS kan?"
Bara menatap Bayu jengah. "Kalau lo enggak ada urusan yang penting, mending lo keluar."
"Gue cuma mau ngajak lo makan."
"Gue udah kenyang."
Bayu menatap meja kerja Bara dan sekeliling ruangan, ia tidak menemukan sisa-sisa makanan. "Kenyang makan angin?" tanya Bayu kemudian duduk di sofa yang tak jauh dari meja kerja Bara. "Lo kenapa sih? Masih soal Bila?"
"Bay, please, just leave me alone," mohon Bara yang benar-benar tidak ingin diganggu. "Gue bakal cerita, tapi nanti."
Bayu menghela napas pelan dan beranjak dari duduknya. "Oke, gue enggak bakal ganggu lo sekarang, tapi lo masih utang cerita sama gue ya."
Bara mengangguk dan membiarkan Bayu pergi meninggalkan ruangannya. Sejak kemarin malam suasana hati Bara tidak kunjung membaik, jika dirasa malah semakin memburuk. Mengetahui fakta bahwa orang yang Bara cintai dan yang ia tunggu selama ini sudah menikah, bahkan sudah memiliki anak membuat Bara benar-benar frustrasi. Ditambah dengan pernyataan Rana kemarin malam yang menyatakan bahwa ia tidak berarti sama sekali di mata Rana, hanya sebatas teman.
Bara tidak menyangka jika penantiannya berakhir sia-sia, dan terasa begitu menyakitkan. Rasanya takdir sedang bergurau sekarang, setelah bertahun-tahun, bagaimana bisa Bara hanya mendapatkan rasa sakit yang begitu menyesakkan?
Sekarang Bara benar-benar tidak tahu harus menyalahkan siapa atas sakit hatinya. Apakah salahnya karena kukuh menunggu? Atau salah Rana yang rasanya tidak pengertian sama sekali? Atau malah salah takdir?
Bara menghela napas pelan, ia menatap bingkai foto yang melindungi foto Rana remaja yang sedang tersenyum manis. "Aku harus apa sekarang?" Bara bergumam pelan.
Suara ketukan pintu membuat Bara bergegas memasukkan bingai foto itu di laci meja kerjanya, tak lama sosok perempuan berparas cantik melongokkan kepalanya dan tersenyum lebar. "Aku ganggu?" tanya perempuan itu kemudian bergegas masuk ke ruangan Bara.
"Kalau udah tahu ganggu kenapa masuk?"
Kira—perempuan itu—mencebikkan bibirnya kesal. "Jahat banget sama adik sendiri."
"Kalau kamu ke sini cuma mau marahin aku dan bantuin mama, mending kamu ke luar sekarang." ujar Bara tegas.
Kira mendengus. "Siapa emangnya yang mau marahin kakak?" tanya Kira sebal. "Aku ke sini cuma mau mastiin kalau kakak baik-baik aja."
"Kamu pikir, kamu bisa bohongin kakak?"
Kira tersenyum lebar. "Tapi aku bener-bener enggak berniat marahin kakak kok, aku cukup tahu gimana susahnya ngatur perasaan," jelas Kira. "Kakak mau atau enggak mau nikah sama Kak Bila, apapun keputusan kakak asal itu baik, aku bakal terus dukung kakak."
Bara menatap Kira penuh selidik. "Kalau kamu bijak gini, pasti ada sesuatu yang kamu mau dari kakak. Apa?"
"Tyo kan lagi kerja, Kak, kemungkinan baru pulang minggu depan," jelas Kira. "Nah, hari ini aku harus ketemu sama desainer interior yang mau desain rumah aku, jadi—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana
Fiksi Umum[Selesai] Sekeras apapun kau melupakannya, itu hanya akan sia-sia, karena berusaha melupakan adalah kata lain dari memupuk rasa. Dan pada akhirnya, kau semakin ingin memilikinya. - Renjana - Jumat, 27 Maret 2020 *** Selesai, Sabtu, 29 Agustus 2020