05. Karena Dia yang Nomor Satu

1.1K 187 10
                                    

"Setelah dia pergi, mereka menyuruhku untuk terus berlari. Tapi, ke mana aku harus pergi?"

***

"Ini saya beri resep ya, Ibu, silakan ke apotek," ujar Bara sambil menuliskan sesuatu di secarik kertas. "Untuk sementara jangan makan gorengan dulu, yang asam-asam, bersantan.. pokoknya dijaga makannya, dan yang paling penting hindari stres, istirahat di rumah dulu aja ya, Bu."

"Ini saya perlu bayar nggak ya, Mas Dokter?"

Bara tersenyum simpul. "Ibu tidak perlu memikirkan soal biaya. Silakan ke apotek, bawa pulang obatnya, segera diminum, dan istirahat."

"Terima kasih, Mas Dokter."

Senyum merekah muncul di wajah pucat wanita tua itu, membuat sesuatu di dalam diri Bara terasa hangat. Bara menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menghela napas berat, ia cukup lelah hari ini karena pasien yang ia tangani cukup banyak, terlebih Bara menangani pasien-pasiennya seorang diri hari ini karena rekan kerjanya tidak bisa mengisi shift pagi.

Setelah kurang lebih enam tahun menjalani pendidikan dokter, Bara mendirikan klinik bersama sahabatnya di pinggir kota. Sebuah klinik kecil yang baru berjalan kurang lebih selama enam bulan, namun cukup membantu orang-orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan namun memiliki keterbatasan biaya.

Iya, Bara mendirikan klinik kesehatan khusus untuk orang-orang miskin. Ah, Bara tidak sendiri mendirikan klinik tersebut, ada Bayu, dokter di klinik itu sekaligus sahabat Bara. Dua dokter muda itu memang memiliki pandangan yang sama tentang apa tujuan mereka menjadi dokter, hal itu yang membuat mereka sangat akrab hingga menjadi sahabat sampai sekarang.

Para perawat menjuluki mereka dengan Fantastic Duo, karena keduanya sama-sama dokter muda yang memiliki paras yang menawan, tubuh proporsional, berotak cerdas, baik hati, dan jangan lupa jika mereka memiliki uang yang tidak berseri. Rasanya tidak ada yang tidak mereka miliki, meski kadang para perawat dan pegawai klinik masih tidak mengerti dengan tingkah dua dokter yang sama-sama seperti memiliki kepribadian ganda itu.

Suara ketukan pintu membuat Bara segera membenarkan posisi duduknya, seorang perawat melongokkan kepalanya sedikit. "Dokter, waktunya istirahat," Bara hanya mengangguk kecil. "Perawat mau beli ketoprak, dokter mau?"

"Boleh deh, Mbak Ris," jawab Bara kemudian beranjak dari duduknya. "Nanti taruh di ruanganku aja ya," Riska -perawat itu, mengacungkan ibu jarinya. "Makasih, Mbak."

Setelah perawat itu pergi, Bara pun ikut meninggalkan ruang tindakan. Ia bergegas pergi ke musala untuk melaksanakan ibadah, sekaligus berkeluh kesah pada Tuhan-nya. Setelah beranjak dewasa, tidak bisa dipungkiri jika perlahan ia pun mengubah dirinya.

Bara yang dulu lebih banyak menentang, kini menjadi lebih banyak mendengarkan. Bara yang dulu tidak banyak peduli, kini menjadi orang pertama yang selalu ada untuk orang lain. Bara yang dulu cenderung tidak percaya dengan adanya Tuhan, kini ia malah sangat bergantung pada Tuhan-nya.

Bukankah menjadi dewasa adalah pilihan?

Dan ia mengambil pilihan itu.

Setelah mengambil pilihan itu, nyatanya hidup Bara semakin stabil. Meski masih banyak masalah-masalah yang harus ia hadapi, namun sekarang ia menjadi lebih tenang dalam menghadapi masalah-masalah yang harus ia hadapi. Saking tenangnya, membuat orang lain terkadang berpikir bahwa Bara tidak memiliki masalah apapun dalam hidupnya.

"Mama?" Bara yang pergi ke ruangannya setelah beribadah dikejutkan dengan sang mama yang sudah duduk di sofa. "Kok tumben ke sini nggak ngabarin dulu?"

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang