"Tak ada yang seindah matamu, hanya rembulan."
—Kunto Aji
***
"Silakan ke apotik untuk mengambil obat."
Bara tersenyum ramah kepada sepasang suami-istri lanjut usia yang baru saja berobat itu. Tak lama pasien lain datang, kali ini pasien yang datang tidak seperti pasien lain yang terlihat pucat. Kali ini pasien yang datang, Bara anggap bukan pasien.
"Kak, aku denger kakak mau nikah, bener?"
Tidak ada pasien yang bertanya secara terus terang seperti ini, kan?
Bara tersenyum simpul, melihat pakaian yang dikenakan orang itu membuat Bara kembali menghela napas pelan. "Kalau baru pulang sekolah, kamu harusnya langsung pulang, Nadia," ujar Bara dengan sabar. "Kalau bapak sama ibu kamu nyariin gimana?"
"Kakak kan belum jawab pertanyaanku!"
Bara menghela napas pelan. "Kamu dapet informasi dari mana?"
"Berarti bener kalau kakak mau nikah?" Bara sama sekali tidak terkejut mendengar pekikan remaja bernama Nadia itu, karena remaja perempuan itu memang sudah cukup akrab dengannya dan pegawai rumah sakit. "Kenapa sih kakak itu enggak bisa sabar nunggu aku bentar aja? Seharusnya Kakak nunggu aku lulus baru nikah, bukannya cari wanita lain buat dinikahin!"
Bara tertawa kecil. "Kalau kakak nunggu kamu, kakak bakal nikah di usia tua dong," canda Bara, namun hanya dibalas dengan dengusan kekesalan dari gadis remaja itu. "Nadia, percaya sama kakak. Kamu bisa dapet laki-laki yang lebih baik dari kakak, dan yang pasti sayang sama kamu."
Nadia mencebikkan bibirnya kesal. "Mana ada laki-laki jaman sekarang yang sebaik kakak?" protes Nadia. "Pokoknya aku bakal buktiin ke kakak kalau aku pantes buat kakak," ujar Nadia menggebu-gebu. "Kakak enggak boleh nikah dulu, kakak harus nunggu aku!"
Bara menatap pintu ruang periksa yang ditutup dengan kasar oleh gadis remaja tadi, ia hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah bocah yang sejak awal memang sudah terang-terangan menyukainya dan terus-terusan meminta untuk ditunggu agar mereka bisa menikah. Permintaan yang tak mungkin Bara turuti. Ya, bagaimana bisa Bara menunggu gadis itu ketika ada orang lain yang sedang ia tunggu?
"Nadia lo apain, Ra?"
Bara menatap sosok jangkung yang baru saja membuka pintu ruang tindakan, Bayu. "Biasa, kayak enggak tahu dia aja."
"Anak itu bener-bener enggak ada kelihatan kalau lagi butuh donor hati," komentar Bayu yang membuat Bara kembali tersenyum kecil. "Mau makan di tempat biasa? Gue yang traktir."
"Tumben," Bayu melayangkan tatapan tajamnya. "Lo tadi lewat mana tiba-tiba mau traktir gue gini?"
Bayu memutar mata jengah. "Kalau mau buruan berangkat, kalau enggak ya udah."
Bara terkekeh dan bergegas menyusul Bayu yang sudah pergi lebih dahulu. Mereka berjalan menyusuri pedestrian untuk menuju restoran di mana mereka biasa makan, sebuah tempat makan yang menjajakan beberapa makanan khas nusantara. Tempat favorit Bayu dan Bara, karena rasanya yang enak dan harganya yang murah.
Mereka memang kaya, tapi bukan berarti mereka suka berfoya-foya. Terlebih jika urusan makan, baik Bara maupun Bayu tidak pilih-pilih makanan. Asal bisa membuat mereka kenyang dan bukan makanan terlarang, mereka akan memakannya.
"Gimana progres nikahan lo?"
Pertanyaan Bayu membuat Bara mengurungkan niatnya untuk menyendok makanan, ia menatap Bayu kesal. "Jangan mulai deh, Bay." ujar Bara kemudian menyuap nasi dan lauk-pauknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana
General Fiction[Selesai] Sekeras apapun kau melupakannya, itu hanya akan sia-sia, karena berusaha melupakan adalah kata lain dari memupuk rasa. Dan pada akhirnya, kau semakin ingin memilikinya. - Renjana - Jumat, 27 Maret 2020 *** Selesai, Sabtu, 29 Agustus 2020