11. Andai Saja

925 139 24
                                    

Jangan lupa vote dan komen <3

Selamat membaca!

***

Bara memasuki ruangannya dengan langkah berat, ia melepas snelli dan menyampirkannya di gantungan baju sebelum duduk di kursi kerjanya. Bara menghela napas berat, ia mengacak rambutnya kasar, hari ini cukup melalahkan karena banyak pasien yang datang dengan berbagai keluhan, ditambah suasana hatinya tidak kunjung membaik karena Rana.

Bara tahu, tidak seharusnya ia membawa urusan ribadi ke dalam urusan pekerjaan, namun suasana hatinya sedang sangat tidak baik. Bukan berarti Bara tidak mengendalikan suasana hatinya, ia sudah mencoba, tapi sepertinya patah hati memang bukan suatu hal yang baik.

Tidak. Patah hati memang bukan sesuatu yang baik.

Seuara ketukan pintu membuat Bara mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang datang, ia mendengus ketika melihat Bayu datang dengan satu kantong plastik dan masuk begitu saja tanpa permisi. "Gue ke sini enggak cuma numpang makan," ujar Bayu sambil meletakkan kantong plastiknya di meja. "Gue beliin lo makan juga."

"Hm, thanks."

"Bad mood lagi?" Bara tidak menjawab. "Lama-lama lo tuh kayak cewek ya, Ra. Dikit-dikit bad mood, dikit-dikit bad mood."

Bara kembali diam, memilih tidak menjawab ucapan Bayu yang berpotensi akan membuat suasana hatinya bertambah buruk yang tentu saja akan membuat mereka bertengkar dan semakin membuat Bara pusing.

"Lo ketemu Rana lagi?" Bayu tidak menyerah, ia masih mau mendengar Bara berbicara, tetapi sepertinya Bara benar-benar enggan untuk menjawab pertanyaannya. Bayu menghela napas berat. "Dia udah bahagia sama hidupnya, Ra, kayaknya sekarang saatnya lo buat bahagia, deh," ujar Bayu menasihati. "Lo enggak mungkin ngerusak hidupnya Rana yang udah baik-baik aja dan penuh kebahagiaan, gue juga enggak akan biarin lo ngelakuin hal itu."

"Udah lama lo nunggu dia, tapi penantian lo sia-sia," Bayu kembali berbicara. "Lo harus sadar kalau perasaan lo itu toxic, lo enggak pernah bahagia karena perasaan lo dan malah lebih sering sakit hati gara-gara rasa yang lo punya."

Bara menghela napas berat. "Gimana caranya gue bahagia kalau sumber kebahagiaan gue itu dia?" kini Bara bersuara. "Seumur hidup gue, yang bisa buat gue bahagia cuma Rana."

"Tapi lo harus realistis, Ra," sahut Bayu kembali menasihati. "Sekarang Rana udah bahagia sama keluarganya, dia udah bahagia dengan hidupnya, dan lo enggak bisa bahkan enggak boleh ngehancurin itu."

Bara menatap langit-langit ruangannya. "Kalau gitu, gue bakal nunggu dia."

Bayu mendengus, ia tidak percaya jika sahabatnya yang jenius bisa berubah menjadi manusia tolol seperti ini hanya karena cinta. "Mau sampai kapan lo mau nunggu dia?" tanya Bayu jengah. "Lo harus terima takdir kalau lo enggak bisa milikin dia lagi," Bayu mendengus. "Dan yang paling penting, lo harus bahagia, Bara!"

"Gue udah lupa caranya bahagia."

"Lupain Rana."

"Gue udah coba," jawab Bara. "Selama bertahun-tahun ini, lo pikir gue enggak pernah coba buat ngelupain dia? Gue udah nyoba lupain dia, tapi apa hasilnya? Semakin gue coba lupain, semakin jelas wajah Rana," Bara menghela napas kasar. "Gue juga enggak mau kalau akhirnya kayak gini, kalau disuruh milih, gue juga enggak mau kayak gini."

"Karena lo enggak mau coba hubungan baru, Ra."

"Apa setiap orang baru bisa ngobatin luka?" tanya Bara skeptis. "Gue enggak mau jadi orang pelarian atas masalah gue, karena itu artinya gue nyakitin dia, kalau giitu terus apa bedanya gue sama cowok berengsek di luar sana?" Bayu terdiam. "Enggak semua luka bisa disembuhin sama orang baru."

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang