03. Benar-benar Sendiri

1.2K 181 10
                                    

Jangan lupa vote dan komen <3

Selamat membaca!

***

Hari ini Rana kembali ke rumah Rosa, dengan harapan Bara sudah memiliki tujuannya masuk universitas. Sebenarnya Rana tidak perlu memaksa Bara, karena itu hanya akan membuang-buang waktu, namun menurut Rana akan semakin buang-buang waktu ketika ia mengajar namun orang yang ia beri pelajaran tidak tahu tujuannya.

Rana hanya ingin Bara tahu apa tujuan hidupnya.

Seperti kemarin, hari ini Rana mendapat sambutan hangat dari Asih –asisten rumah tangga rumah Rosa. Rana dipersilakan masuk dan menunggu di perpustakaan, sepertinya menjadi akan menjadi tempat ia dan Bara belajar bersama.

"Tunggu sebentar ya, Mbak. Ibu lagi bicara sama Mas Bara."

Rana hanya mengangguk, dan sesaat kemudian Asih pergi meninggalkannya sendiri. Rana menatap sekitar ruangan yang masih membuatnya takjub meski sudah melihat dua kali. Ya, maklum saja, ia tidak memiliki ruangan yang disebut perpustakaan ini di rumahnya.

Atensi Rana buyar ketika mendengar sebuah suara atau mungkin dua suara yang saling berseru, sepertinya mereka sedang bertengkar. Rana menatap sosok yang baru saja lewat di depan pintu perpustakaan, Bara, yang disusul Rosa yang masih mengucapkan beberapa kalimat yang membuat Rana yakin jika kepergian Bara dikarenakan Rosa yang memarahinya.

Awalnya Rana memilih tidak peduli, namun kini kaki Rana melangkah keluar perpustakaan dan mengikuti Rosa dan Bara yang keluar rumah. "Sekali kamu keluar dari gerbang, mama enggak akan pernah izinin kamu masuk rumah lagi!" ancam Rosa pada Bara yang sudah siap keluar dengan motor besarnya.

Namun Bara terlihat tidak peduli dengan ancaman Rosa dan bergegas pergi dengan motornya. "Bara!" Rosa menghela napas pelan ketika melihat anaknya yang sudah pergi dari rumah.

"Saya susul ya, Tante."

Rosa hanya diam, sementara Rana bergegas menyusul dengan sebuah sepeda yang kebetulan terparkir di halaman depan rumah. Rana mengayuh sepeda tersebut mengikuti Bara yang belum terlalu jauh dari pandangannya dan ternyata Bara tidak keluar kompleks.

Rana mengayuh sepedanya lebih cepat agar tidak kehilangan jejak, namun ia segera memperlambat laju sepedanya ketika Bara berhenti di tepi sebuah danau buatan di sana. Rana segera memarkirkan sepedanya ketika Bara kini berjalan ke sebuah bangku taman yang ada di tepi danau.

Perlahan Rana medekati Bara dan duduk di sebelahnya. "Hari ini cerah banget ya?" Bara yang keberadaan Rana memilih diam, Rana menghela napas pelan. "Kalau kamu emang enggak mau belajar sama aku, kamu bisa bilang dan aku akan berhenti, enggak perlu bentak-bentak mamamu."

"Orang tua kadang emang suka enggak masuk akal, mereka cuma mau anaknya nurut apa kata mereka, dan yang paling nyebelin, maunya bener sendiri," Rana tersenyum kecil. "Kita, anak-anak mereka, rasanya nggak lebih dari robot yang bisa disetting sesuai keinginan mereka."

Rana kembali menghela napas pelan. "Tapi sebagai anak, kita harusnya juga bisa paham kalau apa yang mereka lakuin itu demi kebaikan kita," sambung Rana. "Meski kadang itu nggak kelihatan baik buat kita."

"Kebaikan apa? Yang mereka lakuin cuma demi pamor mereka," sahut Bara yang kini mau membuka suara. "Kamu mungkin nggak ngerasain, tapi orang tuaku bener-bener enggak pernah peduli sama kebahagiaanku, sama apa yang bener-bener aku mau."

Rana terdiam sejenak, ia menatap air danau yang begitu tenang. Danau ini begitu nyaman, dengan pepohonan yang rimbun dan semilir angin sejuk membuat siapa saja akan betah berlama-lama di danau ini. Namun dengan ketenangan dan kenyamanan danau ini membuat Rana semakin tersadar, bahwa jarak si miskin dan si kaya terlalu jauh. Ah, apakah dengan membandingkan kehidupannya dan kehidupan Bara membuatnya menjadi manusia yang kurang bersyukur?

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang