07. Masa Lalu

1.1K 183 21
                                    

Jangan lupa vote dan komen <3

***

Tiga puluh menit sudah berlalu, namun baik Rana ataupun Bara belum ada yang berniat untuk membuka pembicaraan. Setelah pertemuan tidak terduga tadi, kini Rana dan Bara memang sedang duduk berhadapan di sudut sebuah kafe, namun tidak ada yang berbicara sejak tadi, keduanya kompak menatap kepulan asap dari cangkir kopi masing-masing.

Rana melirik jam tangannya, ia kemudian memberanikan diri menatap Bara. "Maaf, kalau enggak ada yang dibicarain, sebaiknya aku pergi."

Bara menegang, ia menahan Rana yang ingin beranjak. "Tunggu," Rana mengurungkan niatnya dan kembali duduk dengan tenang. "Maaf, aku cuma enggak tahu harus ngomong apa," Bara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "E—kamu apa kabar?"

"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik aja," jawab Rana sedikit kikuk. "Gimana papa sama mama?"

"Mereka baik-baik aja," Bara tersenyum simpul. "Nyebelinnya juga masih sama," Rana ikut tersenyum, memorinya berputar mengingat kejadian beberapa tahun lalu di mana ia melihat Bara dan sang ibu bertengkar. Suasana kembali hening, Rana memilih menyesap kopinya yang masih setengah. "Kamu.." Rana yang masih memegang cangkir kopi terdiam sejenak, membiarkan tangannya mengambang mengangkat cangkir kopi sambil menunggu kalimat Bara selanjutnya. "Kemana aja selama ini?"

Rana meletakkan kopinya di meja. "Cukup jauh," jawab Rana dengan senyum simpul. "Setelah ibu meninggal, ayah pulang dan jemput aku sama Ragil buat ikut sama ayah ke Kanada."

"Kanada?"

Rana mengangguk. "Ternyata selama ini ayah merantau ke Kanada dan kerja di sana," jelas Rana. "Enggak ada yang nyangka kalau lulusan SMP bisa sukses di negeri orang."

"Tapi.." Bara menggantungkan kalimatnya, ia menatap Rana ragu-ragu. "Kenapa kamu pergi tanpa pamit?"

"Apa maksudnya?" tanya Rana bingung. "Waktu itu aku pamit sama mama kamu kok, ada Kira juga waktu aku pamit."

"Tapi enggak pamit sama aku," Rana terdiam. "Kamu pergi gitu aja, tanpa pamit dan buat aku bingung."

Rana menghela napas pelan. "Aku rasa kita enggak pernah dalam hubungan harus pamit kalau mau pergi atau hal semacam itu."

"Di hidup ini, kamu enggak bisa datang tanpa permisi dan pergi tanpa pamit. Kamu enggak bisa hidup seenaknya kayak gitu, Rana," Bara menghela napas kasar. "Dan kamu bilang kalau kita enggak pernah ada di hubungan harus pamit kalau pergi? Terus yang kita lakuin waktu itu apa? Waktu itu kamu anggap aku apa?"

Rana terdiam, ia menatap Bara yang nampaknya mulai kesal sekarang. "Bara, waktu itu kita berdua sama-sama lupa diri karena kita masih remaja yang labil dan enggak bisa mengontrol diri," ujar Rana. "Hubungan kita waktu itu terjadi karena kita terlalu terbawa perasaan, dan enggak lebih dari itu."

"Rasaku tulus, Rana," sahut Bara dengan menatap lekat mata cokelat Rana. "Sampai sekarang rasaku masih sama, itu bukan karena aku terbawa suasana. Aku bahkan nunggu kamu sampai saat ini."

"Maaf udah buat kamu nunggu, Bara," ujar Rana penuh sesal. "Tapi mulai sekarang kamu enggak perlu nunggu aku lagi."

Rana menatap seseorang yang duduk tidak jauh dari jangkauan mereka, membuat Bara ikut menatap sosok laki-laki dengan anak laki-laki yang sedang tertidur di pangkuannya. "Karena kamu udah menikah?" tanya Bara.

"Karena kamu juga harus bahagia, Bara," jawab Rana sambil tersenyum simpul. "Aku harap, setelah ini kita masih bisa berteman sebagai teman lama," Rana beranjak dari duduknya. "Aku permisi."

Bara menatap punggung Rana yang semakin menjauh dari pandangannya. Sesuatu di dalam diri Bara berdenyut kencang ketika melihat Rana yang terlihat begitu harmonis dengan keluarganya. Kepala Bara seperti dipukul dengan palu setelah mengetahui fakta bahwa orang yang ia tunggu dan ia cintai selama ini sudah menikah.

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang