Jangan lupa vote dan komen!
Selamat membaca~
***
Rana membaca surat yang diberikan Bara dengan saksama, meski tanpa perlu membaca surat yang diberikan Bara pun Rana sudah tahu kebenaran bahwa Bara adalah ayah biologis dari anak laki-lakinya, Biru. Iya, laki-laki yang ada di hadapannya ini adalah laki-laki pertama ada di hidup Rana. Laki-laki yang pernah mengisi hari-hari Rana.
Jujur saja, Bara memang pernah ada di hati Rana. Laki-laki dengan segala masalahnya itu berhasil membuat Rana penasaran sekaligus membuat jantung Rana berdebar tak tentu. Bara yang keras kepala dan terlihat tangguh tetapi ternyata begitu rapuh membuat Rana benar-benar ingin selalu di sisi Bara. Tapi itu dulu, sekarang Rana rasa tidak ada lagi rasa itu. Meski terkadang ketika melihat sorot mata Bara yang memancarkan duka dan kesepian membuat Rana goyah hingga ingin merengkuh laki-laki itu.
Karena Bara masih sama, ia laki-laki sok tangguh yang sebenarnya begitu rapuh.
"Kenapa kamu sembunyiin ini, Rana?"
Rana terdiam sejenak, ia meletakkan surat hasil tes DNA itu di meja. Ia menghela napas pelan sebelum memberanikan diri menatap Bara. "Emangnya aku harus gimana?" tanya Rana. "Aku harus bilang ke kamu kalau aku hamil gitu?" Rana menyesap teh hangatnya sebentar. "Banyak hal yang aku pikirin waktu tahu kalau aku hamil, Bara. Terutama soal masa depan anak itu nanti."
"Aku bakal bertanggungjawab kalau kamu bilang waktu itu."
Rana menghela napas pelan. "Tanggungjawab yang kayak apa? Nikahin aku? Atau nafkahin anakku?"
"Dia juga anakku, Rana," sahut Bara cepat. "Aku bakal tanggungjawab atas semuanya, entah nikahin kamu atau nafkahin anak kita."
"Di umur kita yang baru delapan belas tahun?" Bara terdiam. "Waktu itu bahkan kita belum lulus SMA, apa yang kita harapin dari status kita saat itu?" Rana kembali menghela napas. "Membesarkan anak bukan sesuatu yang mudah, Bara. Punya anak enggak cuma soal gantiin popok atau kasih makan aja, punya anak lebih rumit dari itu. Dan aku enggak yakin kita bisa melalui itu semua kalau waktu itu aku bilang sama kamu,"
Bara menatap Rana tak percaya. "Jadi kamu enggak percaya sama aku?" tanya Bara menuduh. "Kamu enggak percaya kalau aku bisa bertanggungjawab?"
"Bukan gitu, Bara," Rana menghela napas berat. "Aku bukannya enggak percaya sama kamu, tapi aku mencoba realistis aja," jelas Rana. "Coba kamu bayangin kalau waktu itu aku bilang sama kamu kalau aku hamil dan kita nikah, apa yang akan terjadi sekarang?" Rana menjeda kalimatnya, membiarkan Bara mencoba untuk mengerti kalimatnya dulu. "Kamu mungkin enggak akan jadi dokter kayak kamu sekarang ini, dan aku mungkin enggak kayak sekarang.. kita enggak akan kayak sekarang."
Rana menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan, mencoba mengatur emosi agar dapat menjelaskan alasannya dengan jelas. "Dan aku rasa kita enggak akan bisa bertahan lama karena kita yang masih kekanak-kanakkan kalau menikah waktu itu. Mungkin kamu bisa dewasa, tapi aku mungkin enggak akan bisa," Rana kembali menjelaskan. "Aku rasa enggak kasih tahu kamu kalau aku hamil waktu itu adalah jalan yang terbaik buat kita. Buat aku, kamu, ataupun Biru."
"Tapi kenapa harus sembunyi selama ini?" tanya Bara kembali menuntut penjelasan. "Kamu bahkan sampai bohong soal pernikahanmu."
"Aku enggak pernah bohong soal pernikahanku," jawab Rana membela diri. "Aku enggak pernah membenarkan kalau aku udah menikah."
Bara menghela napas frustrasi. "Tapi dari sikapmu menunjukkan hal yang sebaliknya, kamu juga enggak pernah jelasin soal itu, Rana," Rana terdiam. "Dan mungkin kalau enggak ada kejadian ini, kamu bakal sembunyiin semua ini sampai salah satu dari kita mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana
General Fiction[Selesai] Sekeras apapun kau melupakannya, itu hanya akan sia-sia, karena berusaha melupakan adalah kata lain dari memupuk rasa. Dan pada akhirnya, kau semakin ingin memilikinya. - Renjana - Jumat, 27 Maret 2020 *** Selesai, Sabtu, 29 Agustus 2020