Part 8

3.8K 234 2
                                    

Keadaan desa kami kala itu semakin sepi, jalanan yang dulunya ramai, kini sepi saat sore hari.

Layaknya kampung mati, selepas Adzan magrib para penduduk lebih memilih berdiam diri di dalam rumah.

Mbak Minah dan Suaminya yang berjualan bakso sampai larut malam, sudah 5 hari ini tidak berjualan, Mbak Minah dikabarkan sedang merawat suaminya yang sedang sakit.

Sapi milik Bapak dan Lek Sudar juga belum ketemu, polisi bilang maling yang mencuri sapi milik kami sama sekali tidak meninggalkan jejak.

Parahnya lagi setiap hari pasti ada penduduk yang meninggal dunia, banyak padi gagal panen karena terserang hama wereng. Kekacauan semakin bertambah dengan datang musibah.

Kepala desa memanggil para pakar agama, setiap malam di gelar doa bersama berharap pagebluk yang menyerang desa kami menghilang.

Isi kepalaku terasa semakin berat saat memikirkan nasip desa kami, apa lagi saat ini Mak Turah sedang sakit. Mataku mulai berair ketika melihat tubuh ringkihnya terbujur di ranjang puskesmas, tidak tega rasanya melihat nenek orang tua yang selalu memberi nasihat pada keempat cucu gadisnya.

Meski kadang aku dan Siti sedikit kesal pada Mak Turah, karena semua yang kami lakukan pasti mendapat nasihat, benar di mata kami, belum tentu benar di mata Mak Turah.

"Mbak, mangan sek." (Mbak, makan dulu.) Suara Yerin yang datang membawakan makanan.

Cepat kuhapus air mataku, agar Yerin tidak menyadarinya. "Kok suwe Yer?" (Kok lama Yer?) tanyaku padanya.

"Sek tas mateng Mbak." Jawab Nindy sambil mengulurkan rantang berisi makanan padaku.

Aku merasa tidak nafsu untuk makan, pikiranku masih melayang memikirkan masalah yang terus muncul di desa.

"Ndang di maem Mbak, selak anyep engkok" (Buruan di makan Mbak, keburu dingin nanti) Kata Yerin, kemudian ia masuk ke ruangan di mana Mak Turah saat ini sedang di rawat.

Kembali aku memikirkan semua hal yang sangat tidak masuk akal bagiku, liang kuburan yang sudah siap di pakai sebelum tahu berapa jumlah orang yang meninggal. Padi di sawah gagal panen semua, maling sapi beserta munculnya keranda yang di pikul oleh 4 pocong. Dan pocong hitam terus menghantui desa kami saat malam.

"Mbak, kok malah ngelamun?" tanya Yerin padaku.

"Wulan!" Jawabku keras.

"Wulan?" Tanya Yerin heran.

"Iyo, Wulan awakdewe kudu nemoni Wulan" Jawabku, karena aku yakin Wulan mempunyai informasi yang kubutuhkan saat ini.

Aku bergegas menuju rumah Wulan, karena hari ini Wulan masuk sift malam. Hari sudah sore saat itu, aku tidak ingin membuang waktu lagi terlalu lama jika menunggu Wulan ke puskesmas, rasa penasaran mengalahkan kesabaranku untuk menunggu Wulan.

"Mak, Wulan onok?" (Mak, Wulan ada?) Tanyaku pada Mak kanti Ibu Wulan.

"Nek turon Yur." (Di kamar Yur) Jawab Mak kanti, "dungaren ndak tau mrene awakmu iku?" (Tumben tidak pernah datang kemari kamu?)

"Repot Mak" Jawabku sambil tersenyum padanya, lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya.

"He gendut, ayok nyang puskesmas" (Hey gendut, ayok ke puskesmas) Ajakku, pada Wulan yang sedang rebahan di kasurnya.

"La lapo, wong gurung jam'e kerjo kok" (Ngapain, orang belum waktunya pergi kerja kok) Jawab Wulan santai, sambil memainkan gawainya.

"Aku kate ngomong akeh nang awakmu" (aku ingin bertanya banyak pada kamu)

KAFAN HITAM SUSANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang