Sesampainya di rumah dengan keadaan semua lampu padam serta nafas yang masih memburu karena kami berlari ketakutan, setelah melihat kesekian kalinya pocong hitam Mbak Susan. Serta kehadiran suara aneh yang sulit untuk ku mengerti karena suara dengan bahasa yang kudengar sama sekali belum pernah ku ketahui.
Setelah memasuki rumah Yerin dan Siti langsung merebahkan tubuh mereka masing-masing di sofa ruang tengah, sedangkan aku lebih memilih memuaskan rasa dahagaku dengan meminum air mineral.
"Gendeng pancene setan iku!" (Gila memang setan itu!) Umpat Siti sambil mengatur nafasnya yang masih tersengal.
"Mbak, turu bareng yo" (Mbak, tidur bareng yah) Rengek Yerin padaku, yang langsung kusahut dengan anggukan kepala. Aku masih saja memikirkan teror Pocong hitam yang terus menampakkan wujudnya.
Lalu Siti menuju dapur ia nampak sibuk mengambil sisa masakan bekas tahlilan tadi sore, "kene Yur mangan bareng" (sini Yur makan bareng) Ajak Siti setelah kembali ke ruang tengah dengan membawa bak plastik berisi nasi lengkap dengan lauknya.
Bapak dan ibuku belum juga pulang, mungkin mereka terjebak atau sengaja menetapkan di gunungan untuk membantu para korban Kesurupan tadi.
Melihat aku dan Siti sedang makan berdua dalam satu tempat makan, Yerin yang tadinya rebahan di sofa langsung bangkit dan ikut makan bersama. "Njukuk dewe kono loh" (ambil sendiri sana!) Seru Siti pada Yerin yang tanpa meminta ijin langsung menyantap makanan di depannya.
"Koen iku kok pait seh" (kamu itu kok pelit sih) Jawab Yerin dengan sengitnya.
"Duwe tangan Ngunu kok!" (Punya tangan gitu kok!) Seru Siti.
Aku yang mendengar mereka sedang berdebat saat makan jadi kesal, "kari mangan ae rame, suwe-suwe tak raupi sego kabeh koen engkok" (tinggal makan aja ribut, lama-lama kubasuh nasi muka kalian semua) sahutku kesal.
Suasana menjadi hening setelah aku menyahut obrolan Siti dan Yerin yang sedang berdebat tadi, kami bertiga makan dengan sangat lahap padahal tadi kami juga sudah makan mie ayam waktu perjalanan pulang.
Tok ...
Tok ...
Tok ...
Suara pintu depan yang tiba-yiba di ketuk, membuat kami bertiga berhenti mengunyah makanan yang sudah terlanjur masuk ke dalam mulut kami masing-masing.
Kami saling berpandangan satu sama lain, heran dengan suara ketukan dari pintu depan. "Sit, delok en Nang ngarep, bek'e bapak wes moleh" (Sit, lihat kedepan siapa tahu bapak sudah pulang) perintahku pada Siti.
"Wegah, Yerin ae" (Tidak mau, Yerin saja) Jawab Siti sambil menunjuk ke arah Yerin.
Mengetahui kami berdua memandang ke arahnya Yerin langsung beranjak dari duduknya lalu menuju ke sofa lalu pura-pura tertidur.
"Ancene anak e demit" (memang anaknya demit) umpat Siti ketika mengetahui Yerin malah tidur di sofa.
"Wegah nek aku tok seng Nang ngarep, nek gelem yo ayo bareng" (tidak mau kalo aku sendirian yang kedepan, kalo mau ayo bareng)
Akhirnya kami bertiga menuju kedepan bersama. Aku tahu sebenarnya kami bertiga sama-sama ketakutan saat itu, apa lagi setelah apa yang terjadi pada kami tadi sewaktu perjalan sepulang dari gunungan.
Malam semakin larut kantuk tak bisa kutahan lagi, aku memasuki kamar dan mulai beranjak untuk tidur. Yerin menyusul masuk ke kamarku, sedangkan Siti masih sibuk dengan makanannya.
===
Baru saja aku memejamkan mata udara di dalam kamar terasa sangat penggap dan panas, antara sadar dan tidak mataku berat untuk sekedar kubuka. Bisa kurasakan saat bulir keringat mengalir membasahi leher, kening dan dadaku, serta kaos yang kukenakan pun sudah mulai basah.
Samar, suara tangisan seseorang yang sangat kukenal, itu adalah suara Yerin yang sedang menangis. Ingin kubuka mataku dan melihat apakah benar yang sedang menangis saat itu adalah Yerin yang sedang tidur di sampingku. Namun mataku terasa amat sangat berat untuk kubuka, bahkan tubuhku pun tak bisa untuk sekedar bergerak jadi kuputuskan untuk memperjelas pendengaran saat itu.
Suara Yerin yang sedang terisak menangis pelan, membuatku gelisah aku khawatir jika terjadi sesuatu padanya. Semakin kucoba untuk membuka mata, semakin berat juga mataku untuk terbuka.
Yerin masih masih terus menangis dengan suara pelan, pelan mataku mulai terbuka orang pertama yang kulihat saat itu adalah Siti yang sedang duduk meringkuk di pojok kamar dengan badan mengigil, ia terlihat sangat ketakutan.
Mataku terbelalak kaget tak percaya saat Siti menunjuk ke arah Yerin yang sedang memeluk pocong hitam sambil menangis sesenggukan. Tak percaya dengan apa yang kulihat saat itu, kucoba mengedipkan mata berulang-ulang berharap ini semua hanyalah mimpi namun semua yang terjadi seakan begitu nyata.
Yerin benar-benar sedang memeluk pocong dengan kain kafan Hitam, aku yakin saat itu ia sama sekali tak menyadarinya.
Lalu pocong itu menghilang perlahan, menyisakan bau arang bercampur daging yang terbakar saat pintu rumah di buka oleh bapak yang sudah pulang dari gunungan.
Yerin kembali terlelap ia tidur sambil menangis semalaman. Sementara aku dan Siti hanya bisa bungkam dengan kejadian itu, bahkan saat bapak dan ibu menanyaiku aku malah menjawab ngelantur.
===
Pagi harinya Yerin bercerita panjang lebar mengenai mimpi yang ia alami semalam. Rupanya benar dugaanku semalam ia terbangun dari mimpinya karena di hantui sosok pocong hitam yang terus menampakkan wujud padanya.
Aku hanya bisa mengangguk saat Yerin mengatakan bahwa semalam saat ia bangun dan langsung memeluk pocong yang ia kira adalah diriku. Aku sengaja berbohong padanya agar Yerin tidak panik.
Lalu ia mengatakan jika ia melihat rumah di tengah ladang, rumah itu di tengah-tengah pohon kelapa. Sempat heran juga dengan penuturan-nya, Yerin malah mengajakku untuk mencari rumah yang ia temui dalam mimpinya.
Yerin bilang kalo rumah itu benar-benar ada, dan ia sangat yakin akan hal itu. Aku terpaksa mengikuti nya karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk padanya jika pergi sendirian.
Seketika darahku berdesir cepat ketika aku dan Yerin berdiri di luar pagar yang terbuat dari kayu bercampur anyaman bambu yang menjadi pembatas halaman rumah tua. Sedangkan Yerin hanya berdiri kaku di sampingku saat itu, aku bisa merasakan kesedihan yang ia alami.
Rumah tua dengan pagar kayu yang mengelilingi, masih terlihat layak untuk di huni. Semalam Yerin bermimpi aneh, dan ia hanya mau bercerita kepadaku meski aku sendiri agak janggal untuk percaya dengan ceritanya. Tapi rumah yang ia ceritakan dalam mimpinya benar-benar ada, kami tahu rumah di tengah kebun kelapa ini ada setelah bertanya pada ibu Wulan.
Semalam Yerin bermimpi aneh dan saat ia terbangun dari mimpinya, orang yang awalnya ia lihat pertama kali saat terbangun dari mimpi adalah aku ternyata adalah sosok pocong hitam yang tengah ia peluk dengan erat.
Sedangkan Siti yang mengetahui itu, duduk meringkuk di pojokan kamar dengan tubuh kaku. Siti melihat Yerin yang menangis sambil memeluk pocong hitam yang di kira adalah diriku yang tertidur di sampingnya.
Siti ingin berteriak memanggil nama Yerin, namun tidak ada satu pun suara yang keluar dari mulutnya pocong hitam itu menoleh dan menatap Siti dengan pandangan kebencian.
Yerin mulai memasuki halaman rumah itu, padahal tidak ada niatanku untuk ikut melangkah memasuki halaman rumah yang berdiri sendiri di tengah rindangnya pepohonan dan banyaknya pohon kelapa, kaki melangkah mengikuti Yerin dengan sensirinya.
Bisa kulihat saat itu tatapan mata Yerin begitu sendu, pikiranku mulai membayangkan yang aneh-aneh. Sebenarnya apa yang sedang terjadi, rumah yang saat ini kami datangi sama persis dengan yang Yerin mimpikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFAN HITAM SUSAN
HorrorCerita ini Mengandung Bahasa yang kurang pantas, bagi pembaca yang kurang berkenan di mohon tidak melanjutkan membaca.