Part 20

2.6K 244 28
                                    

Menjelang sore Gus Anwar beserta keluargaku sudah sampai di rumah. Andri dan Dika mendapatkan tugas dari Gus Anwar untuk mencari bambu kuning.

Aku dan Yerin menyiapkan satu kamar kosong yang di minta oleh Gus Anwar, bapak dan lek Sudar sibuk mengelar karpet berwarna merah di ruang tengah. Sedangkan Siti, tidak nampak batang hidungnya sedari aku dan Yerin pulang dari pasar.

"Mbak Iki kopine deleh ngendi?" (Mbak ini kopinya taruh di mana?) Tanya Nindy yang tiba-tiba datang dengan membawa nampan berisi dua gelas kopi.

"Gus Anwar, lah." Jawab Yerin setengah berbisik.

Kamar kosong yang di minta Gus Anwar harus benar-benar bersih tanpa satupun barang yang tertinggal di dalamnya. Aku sendiri heran dengan permintaan beliau karena memang aneh.

Dan setelah salah satu kamar yang dulunya di gunakan sebagai kamar tamu sudah bersih, tanpa adanya satu barang yang tertinggal di dalamnya. Dan setelah itu Gus Anwar meminta bapak untuk memasang kain mori berwarna putih di seluruh tembok kamar.

Andri yang sudah kembali dari mencari bambu kuning dengan segera membantu memasang kain mori yang di tempelkan di tembok kamar.

"Ndang di tulungi selak peteng!" (Buruan di bantuin keburu petang!) Kata ibu sambil menepuk pundakku dan pundak Yerin secara bersamaan.

Kami bertiga lekas memasukkan barang-barang yang di bawa Gus Anwar dari rumahnya lalu meletakkan semua barang-barang tersebut sesuai dengan perintah Gus Anwar.

"Iki opo seh mbak?" (Ini apa sih Mbak?) Tanya Yerin sambil menunjukkan sebuah bokor berwarna emas yang di bawahnya.

"Yo emboh, piala palingan" (nggak tahu, piala mungkin) jawabku asal karena bokor tersebut berbentuk mirip piala.

"Iku ngunu papane dupo!" (Itu tempatnya dupa!) Sahut Andri dengan masih sibuk meletakkan satu persatu barang-barang gurunya.

"Terus wayang Iki gae opo?" (Terus wayang ini buat apa?) Kali ini giliran bapakku yang bertanya sambil menunjuk ke arah wayang yang berbentuk tokoh Semar, dengan ukuran yang lebih besar dari kebanyakan wayang biasanya.

"Engkok lak weroh dewe sampeyan lek." (Nanti juga tahu sendiri sampeyan Lek) jawab Andri sambil tersenyum menampakkan gigi putih rapinya.

Andri mulai hati-hati saat menancapkan wayang yang berbentuk waru atau biasanya di ibaratkan sebagai gunung pada potongan pelepah pisang yang sudah di bersihkan. Setelah menancapkan di sisi kanannya, berlanjut pada sisi kirinya Andri juga menancapkan wayang gunung, dan di akhiri dengan menancapkan wayang berbentuk Semar yang di tunjuk bapak tadi  di tengah-tengah mirip seperti pagelaran wayang di desa.

Di luar Gus Anwar sedang berbincang ringan dengan Dika, terlihat sepupuku itu sedang mangut-mangut menyahuti ucapan gurunya.

"Bali sesok wae le," (pulang besok saja nak,) terdengar suara Gus Anwar yang menahan keinginan Dika yang ingin pulang ke malang hari ini.

"Masalahe repot Gus, mbenjing Kulo ten Jakarta mbento pedesan." (Masalahnya rumit Gus, besok saya harus ke Jakarta muat lombok.) Jawab Dika datar sambil menyodorkan sebungkus rokok Jisamsoe pada Gus Anwar.

"Yawes, truke ndang di kumbah saiki. Ojo lali di campur banyu leri, ati-ati nek balek saiki!" (Yasudah, truknya buruan di cuci sekarang. Jangan lupa di campur air bekas cucian beras, hati-hati kalo pulang sekarang!) Kata Gus Anwar dengan nada suara berat yang terdengar sangat berwibawa.

Kemudian Gus Anwar bergegas menghampiri truk Dika, lalu membakar tiga batang dupa di depan truk kuning tersebut lalu tangan kanannya terlihat menepuk tanah tiga kali.

"Buk, aku tak nang Malang ae yo?" (Buk, aku ke Malang saja yah?) Kataku pada ibu.

"Lha lapo?" (Kenapa?) Jawab ibu menghentikan aktivitasnya lalu memandang wajahku dengan sorot mata herannya.

"Tak Nang omae lek Eni ae sementara, suwe-suwe sutres aku nek kene terus." (Ke rumah bibi Eni saja sementara lama-lama sutres aku di sini.) Jawabku mencoba mengutarakan isi hatiku.

"Sutres?"  Ibu mengulangi perkataanku.

"Stres buk! Ngunu ae Ndak ngerti" (stres buk! Gitu saja nggak ngerti) jawabku dengan nada berat.

"Kon ngawur ae! Nyusahno Eni nek kon nek Malang." (Ngawur saja kamu! Nyusahin bibi Eni saja kalo di Malang.)

"Aku Yo kangen Shepia. Wes suwe gak ketemu, kabare Dista barang yok opo?" (Aku juga kangen Shepia. Sudah lama nggak ketemu, kabarnya Dista juga gimana sekarang?)

"Wes gak, mben ngenteni iki mari, ambekne bapakmu gak kirane ngolehi awakmu budal Nang Malang Saiki!" (Sudah tidak usah, besok nunggu semua ini selesai, lagian bapak kamu tidak bakalan ngijinin kamu ke malang sekarang!) Jawab ibu sambil berlalu menuju dapur.

"Alah mboh!" Gerutuku kesal karena ibu tidak mengijinkan aku untuk meninggalkan rumah saat itu.

Selesai magrib kulihat Dika masih sibuk mencuci truk kuningnya. Sementara Yerin memandanginya dari balik jendela depan rumah, "napo kok ngelalo ae?" (Ngapain kok bengong saja?) Tanyaku setelah menghampirinya.

"Dika balek saiki yo Mbak?" (Dika pulang sekarang sekarang yah Mbak?) Kata Yerin balik bertanya padaku dengan wajah sedih seperti tidak rela jika Dika pulang ke Malang saat itu.

"Halah mben Nang malang Karo aku nek wes ilang pagebluke Iki" (Halah nanti ke Malang sama aku kalo pagebluknya sudah hilang) kataku menenangkan Yerin saat itu, karena aku tahu Yerin masih menyukai Dika sampai saat itu.

Setelah selesai mencuci truknya dengan agak ragu-ragu Dika mencoba menghidupkan mesin truknya, wajar saja karena setiap hari Dika selalu mencoba menghidupkan mesin truknya namun gagal. Dan ajaibnya saat itu mesin truk Dika langsung menyala. Dengan wajah sumringah Dika buru-buru memasuki rumah lalu berkemas bersiap pulang ke malang.

"Sido moleh Saiki tah Dik? Kok gak kesok ae?" (Jadi pulang sekarang kah Dik? Kenapa tidak besok saja?) Tanya ibuku pada Dika yang sedang bersemangat mengemasi barangnya ke dalam tas punggung.

"Ora! Ra kerasan nek kene!" (Tidak! Nggak kerasan di sini!) Jawab Dika.

Kemudian ia berpamitan untuk segera pulang ke Malang, "merene bukane oleh duwek malah kate di kongkon ngusung batange sapi! Asu tenan kepala desamu Iki" (kesini bukanya dapat uang malah di suruh muat bangkai sapi) ucap Dika saat berpapasan denganku.

Aku langsung terkekeh mendengar ucapannya saat itu, dari penuturan Andri siang tadi mereka bertemu dengan pak kades dan pak kades menyuruh Dika untuk memuat bangkai sapi untuk di pindahkan ke lahan kosong yang agak jauh. Karena bau bangkai ratusan ekor sapi yang menghilang dan saat si temukan dalam kondisi mati semua secara mengenaskan itu kini mulai tercium ke seluruh desa.

***

Pukul 9 malam Gus Anwar yang sudah mengambil air wudhu segera memasuki kamar yang sudah kami sediakan, di bantu oleh Andri beliau sudah bersiap-siap memulai ritual untuk mengusir pagebluk.

Bau dupa bercampur kemenyan tercium tajam di hidung berserta asap tebal yang terus keluar dari kamar tempat Gus Anwar yang memulai ritualnya. Terdengar suara merdu Gus Anwar yang mulai menyanyikan kidung-kidung dengan bahasa Jawa.

Aku yang duduk bersila di samping ibu penasaran dengan nyanyian kidung-kidung yang di baca oleh Gus Anwar. Dari tempat dudukku saat itu terlihat Gus Anwar sedang memegang buku usang sambil terus menyanyikan kidung Semar.

Sementara Andri terus menerus memasukan kemenyan berukuran kecil ke dalam layang yang di khususkan untuk membakar kemenyan. Di kamar itu juga tempat di depan wayang Semar ada bokor dengan sembilan batang dupa yang sudah di bakar.

Banyak kidung buatan Sunan Kalijaga yang di baca dengan nada nyanyian oleh Gus Anwar. Kami berharap wabah pagebluk di desa ini segera hilang, aku sendiripun merasa ngeri jika mengetahui satu persatu penduduk desa mulai meninggal hanya dengan hitungan jam.

Wabah pagebluk memang sudah hilang setelah ritual itu, tetapi teror pocong hitam masih terus berlanjut. Bahkan malam itu telingaku mendengar suara cekikikan keras, padahal aku sudah tertidur.

Kisah selanjutnya di mulai dari pertemuan Siti dengan seorang gadis misterius yang bernama Senja Dewi Asmarani yang akan membantunya melawan teror pocong berkain kafan hitam.

KAFAN HITAM SUSANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang