Part 14

3.1K 237 31
                                    

Pukul sebelas malam Lek Sudar masih berbincang dengan Dika, Rizal dan Toni. Sedangkan ayah dan Ibuku pergi menyusul ke rumah Gus Anwar.

Di sini aku ceritakan dari sudut pandang orang ketiga, karena ceritanya di desa sedangkan aku dan Nindy yang menginap di rumah Gus Anwar sama sekali tidak mendapatkan gangguan dari hantu pocong hitam seperti malam yang lalu.

Singkat cerita Siti yang bertemu dengan Dika dan Rizal di pos ronda kampung siluman malam itu, memutuskan untuk segera pulang. Dika dan Rizal yang belum tahu watak Siti mulai di racuni dengan ide gilanya persis seperti yang ia lakukan pada Aku, Yerin dan Nindy.

Malam itu pukul sebelas suasana kampung benar-benar sepi. Tahlilan terakhir dan doa bersama untuk mendiang Mak Turah, nenek kami terpaksa di laksanakan sehabis Ashar atas permintaan para tetangga karena jika selesai magrib kampung akan terlihat seperti mati.

Lek Sudar yang datang melihat bangkai puluhan sapi yang mati di tengah ladang tebu sedang menceritakan kejadian janggal waktu evakuasi puluhan bangkai sapi. Siang itu ketika beberapa sesepuh desa datang dengan tiga orang polisi untuk melihat kebenaran puluhan bangkai sapi yang di letakkan begitu saja di tengah kebun tebu, anehnya saat polisi mulai memotret ke arah puluhan bangkai sapi yang sudah di kerumuni oleh ribuan lalat itu foto hasil jepretan tidak menampakkan gambar sapi-sapi yang mati tersebut.

Kejadian aneh kedua adalah ketika kepala desa menyuruh beberapa orang untuk memindahkan salah satu bangkai sapi yang terletak paling pinggir. Ketika tiga orang yang sudah siap menyeret salah satu bangkai sapi tersebut, tangan mereka nampak gemeteran dan lagi berkali-kali juga usaha mereka gagal bangkai sapi yang mereka seret terasa amat berat. Bahkan bangkai sapi tersebut tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya lalu atas usul beberapa orang bangkai sapi tersebut di tarik mengunakan tambang. Lagi-lagi usaha mereka sia-sia, bahkan tambang yang sudah di ikatkan pada kedua kaki depan bangkai sapi yang di tarik oleh sepuluh orang itu pun putus.

Keanehan ketiga yang membuat seluruh orang yang menyaksikan kejadian itu lari berhamburan adalah saat munculnya suara aneh. Suara itu seperti bunyi stik drum yang saling di adu, atau lebih tepatnya adalah suara dari tulang yang di adu satu sama lain sehingga benturan tersebut menghasilkan bunyi yang membuat bulu kuduk semua orang yang berada di sana terangkat.

Tek ... Tek ... Tek ... Tek ....

Suara itu terus berbunyi hingga membuat semua orang keheranan di siang bolong. Lalu yang membuat semua orang lari berhamburan adalah ketika munculnya bangkai sapi yang tiba-tiba berjalan dari dalam kebun tebu yang lebat.

Bangkai sapi yang muncul secara tiba-tiba tersebut membuat semua orang lari, pasalnya jelas sekali sapi tersebut sudah mati dari lubang di perut sapi tersebut juga mengeluarkan banyak belatung yang berjatuhan. Dan lagi banyak orang yang sudah menahan bau busuk sejak pertama kali datang langsung memuntahkan semua isi perut mereka ketika melihat sapi yang berjalan dari dalam kebun tebu tersebut mengeluarkan banyak sekali belatung dari luka di bagian perutnya.

"Hoeeekk ...." Suara Dika yang memuntahkan isi perutnya. Siti yang datang dengan nampan berisi 4 gelas kopi panas di tangannya langsung memandang jijik ke arah Dika.

"Masuk angin tah koen iku?" (Masuk angin kah kamu itu?) Tanya lek Sudar pada Dika.

"Ora, aku gak mbayangno ambune batang sapi, gak kolu dewe" (tidak, aku nggak bisa bayangin bau bangkai sapi, mual rasanya) Jawab Dika dengan mulut yang masih terlihat ingin memuntahkan sesuatu.

"Astaghfirullah!" Teriak Rizal yang sedang bejalan menuju kamar mandi di luar rumah lewat pintu belakang. Rizal kaget saat ia berjalan matanya tidak sengaja melihat ke arah Lek Tutik istri Lek Sudar yang sedang sholat tahajud mengenakan mukena putihnya, yang di kira Rizal adalah pocongan.

KAFAN HITAM SUSANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang