Setelah pemakaman Nenek rumah kami yang memang berjejer menjadi satu dengan rumah Lek Sudar, di kunjungi puluhan pelayat. Ketiga sepupuku juga sedang sibuk membantu menyiapkan segala keperluan untuk tahlil nanti malam.
Sedangkan aku hanya duduk malas bersandar di kusen pintu pikiranku melayang kemana-mana. Tentang semua yang terjadi di desaku, tentang wabah pagebluk yang membuat satu persatu penduduk desa meninggal setiap harinya.
"Uwis toh Yur, ojo di tangisi ae ben Emak tenang nek alam kono" (Sudahlah Yur, jangan di tangisin terus biar Nenek tenang di alam sana) Kata Ibuku sambil mengelus pelan kedua pundakku.
Jujur aku memang sedih dengan kepergian Nenekku saat itu, tapi yang membuatku sedang melamun saat itu bukan karena meninggalnya Nenek, melainkan teror yang datang setiap malam, dan selalu menghantui desa kami termasuk aku sendiri yang setiap malam selalu di datangi sosok pocong hitam.
"Nduk, maem sek ageh" (Nak, makan dulu gih) Kata bapak yang juga menghampiriku.
"Ndak luwe Pak" (Tidak lapar Pak) Jawabku singkat.
Kemudian datang Nindy membawa satu piring nasi lengkap dengan lauknya, "Mangan Mbak, peyan gurung mangan mulai isuk" (Makan Mbak, kamu belum makan dari pagi) kata Nindy.
Dengan malas kuambil piring nasi yang di ulurkan padaku, agar mereka diam tidak terus menyuruhku makan.
Aku hanya ingin tenang sambil memikirkan solusi untuk teror pocong dan wabah di desa kami."Ndang di pangan, mulai maeng kok mek di delok tok" (Buruan di makan, dari tadi cuman di lihatin aja) Suara Siti mengagetkan aku yang kembali melamun sambil memegang piring nasi.
"Sit, koen ngeroso nek onok seng aneh gak karo deso iki?" (Sit, kamu merasa ada yang aneh tidak dengan desa ini) Tanyaku pada Siti, yang sudah duduk di sampingku saat itu.
"Wes mulai pertama ndikek aku curiga, cuman koen gak percoyo" (Sudah mulai awal aku curiga, hanya saja kamu tidak percaya)
"Terus solusine yokopo?" (Terus solusinya bagaimana?) Tanyaku.
"Emak pernah ngomong, gak mungkin onok pagebluk nek gak onok wong seng nyalah nek deso iki Yur" (Nenek pernah bilang, tidak mungkin ada pagebluk kalo tidak ada orang yang berbuat salah di desa ini)
"Maksud e, salah seng yok opo ngunu?" (Maksudnya, salah yang bagaimana gitu?)
"Nyalahi adat, karo nyalahi aturan agomo" (Menyalahi adat, dan menyalahi aturan Agama) Jawab Siti tegas.
Aku kembali berpikir, bukankah di desa kami saat itu masih terbilang wajar. Adzan selalu di kumandangkan dan banyak orang juga pergi ke Langar (Mushola) dan masjid.
"Engkok bengi mari magrib onok doa bersama nek gunungan" (Nanti malam sehabis magrib di adakan doa bersama di gunungan) Lanjut Siti.
"Sopo ngadakno?" (Siapa yang ngadain?) Tanyaku pelan.
"Perangkat deso lah" (Perangkat desa lah) Jawab Siti "mugo-mugo ae sakmarine doa bersama ndang mari kabeh, aku wes koyok wong stres rasane" (mudah-mudahan saja sehabis doa bersama bisa selesai semua, aku sudah stres rasanya)
"Sit, Siti, tukokno aqua gelasan Nduk" (Sit, Siti, belikan aqua gelasan Nduk) Teriak Lek Marni Ibu Nindy.
"Sak kerdus Lek?" (Satu kardus Lek?) Jawab Siti balik bertanya.
"Telung kerdus, sak kerdus mosok cukup wong gae tahlilan engkok bengi" (Tiga kardus, satu kardus mana cukup buat tahlilan nanti malam) Kata Lek Marni.
"Ayo!" Siti menepuk pundakku keras, ia mengajakku untuk menemaninya membeli air mineral kemasan gelas.
Aku juga berharap semua yang terjadi di desa kami terselesaikan setelah doa bersama nanti malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFAN HITAM SUSAN
HorrorCerita ini Mengandung Bahasa yang kurang pantas, bagi pembaca yang kurang berkenan di mohon tidak melanjutkan membaca.