Bingung dan heran itu lah yang kurasakan malam di mana aku mengetahui jika foto usang yang Siti tunjukan padaku, adalah foto perempuan bernama Susan.
Sementara saat itu sosok perempuan yang wajahnya mirip dengan wajah di foto usang milik Siti masih menangis pilu bersandar di truk bagian depan. Pikiran ini menolak untuk mempercayai semua yang terjadi selama ini, tetapi fakta bahwa selama ini kami mengalami teror yang mengerikan dari sosok wujud pocong hitam seakan memaksaku untuk percaya.
Siti dan aku terus memperhatikan sosok wanita bergaun putih itu terus menangis, jika di amati sosoknya sama persis seperti hantu kuntilanak dalam film-film horor. Sedangkan Dika sepupuku itu malah berdiri di sebelah Siti sambil memperhatikan ke arah luar melalui celah jendela depan rumah. Sesekali juga Dika menyeruput kopi hitam dalam gelas yang ia pegang di tangan kanannya.
Tidak ada bedanya dengan Siti pikirku, di saat aku merasakan kengerian karena rasa takut yang teramat sangat. Mereka berdua malah menonton sosok wanita itu layaknya sebuah film dokumenter.
"Saiki koen percoyo?" (Sekarang kamu percaya?) Tanya Siti dengan suara lirih tanpa menoleh padaku.
Tak bisa menjawabnya, aku hanya mengangguk pelan. Entah apa maksud pertanyaan Siti malam itu yang jelas aku mengangguk meski tidak paham dengan situasi kami.
Tidak berapa lama Dika beranjak dari tempatnya menuju ke belakang, sedangkan aku dan Siti keruang tengah tidak yang kami lakukan saat itu selain diam sambil terus mendengarkan suara tangisan wanita di luar rumah.
Tidak berapa lama Dika kembali, ternyata dia ke belakang untuk mengambil wudhu setelah itu ia mengambil sajadah di dalam kamar dan menggelarnya di ruang depan. Aku dan Siti hanya memperhatikan Dika yang mulai melakukan shalat dua rakaat di lanjut dengan bacaan surat Al Fatihah, setelah itu ia lanjutkan membaca surat An Naas sebanyak tiga kali, tidak berapa lama kemudian dengan suara pelan ia membaca ayat kursi sebanyak tujuh kali.
Setelah itu aku dan Siti merasa lega dengan menghela nafas panjang, karena suara tangisan wanita tersebut sudah tidak terdengar lagi. Dika sudah berdiri di samping tembok pembatas antara ruang depan dan ruang tengah, ia memandang ke arah kami yang sedang duduk bersandar di tembok dengan tatapan yang susah kujelaskan.
"Sit, mburimu onok pocongan ireng!" (Sit, di belakang kamu ada pocongan hitam!) Ucap Dika dengan suara pelan, dengan mimik wajah yang menandakan kegugupan.
Saat itu posisi kami sedang duduk bersandar ke tembok dan menghadap ke arah pintu kamarku, sedangkan posisi Siti ia berada di belakangku. Mendengar ucapan Dika kami berdua langsung terkejut secara bersamaan.
Aku sampai tidak berani menoleh kebelakang, sedangkan Siti ia memegang erat lengan kananku agar aku tidak berlari meninggalkan dirinya. Perlahan Siti menoleh ke arah belakang, tidak ada apapun di belakang Siti saat itu.
"Ndak lucu Jancok!" (Tidak lucu sialan!) Umpat Siti saat tahu Dika mengerjai kami berdua.
"Karo setan wedi, padane ora duwe Pengeran ae" (sama setan kok takut, kayak tidak punya Tuhan saja) Celetuk Dika lalu duduk di kursi lalu ia terlihat sedang memainkan gawainya.
Tanpa berfikir panjang aku langsung duduk di sebelah Dika, karena saat itu ia tengah duduk di kursi panjang ruang tengah di ikuti oleh Siti yang duduk di kursi depan kami hanya di batasi oleh meja kaca.
"Koen ndak sido balek kesok?" (Kamu tidak jadi pulang besok?) Tanya Siti pada Dika.
"Pokok trukku kenek yo moleh aku Sit," jawab Dika seolah acuh ia masih serius dengan gawai di tangannya.
"Ndak sakno Yerin koen a? Nek masalah e Yerin mari mulio ndak popo" (Tidak kasian Yerin kamu? Kalo masalah Yerin selesai tidak apa kamu pulang) bantah Siti serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFAN HITAM SUSAN
HorrorCerita ini Mengandung Bahasa yang kurang pantas, bagi pembaca yang kurang berkenan di mohon tidak melanjutkan membaca.