♡Part 14♡

26 10 6
                                    


Vote and comment
.
.
.
.
.
.
.

"Sepertinya lebamnya sedikit besar. Badanmu juga mulai panas. Lebih baik ke dokter saja," jelas Bu Nita pada Joya yang baru saja diperiksa. Bu Nita ini guru biasa tapi menjelma menjadi penjaga UKS sekaligus yang ngobatin siswa yang lagi sakit. Katanya sih dulu pernah ikut pelatihan kesehatan di kampungnya program dari ibu-ibu PKK. Untuk mengobati hal-hal kecil Bu Nita masih okelah.

"Lebamnya besar? Seperti apa? Separah itu, ya, Buk?" Itu pertanyaan beruntun dari Juna. Pemuda itu tampak serius saat bertanya. Joya melirik bingung kearah Juna. Ini yang sakit siapa, yang lebay siapa.

"Sebesar kepalan tangan saya," ucap Bu Nita sambil menunjukkan kepalan tangannya. Juna mengerjapkan matanya, itu memang cukup besar. "Tidak akan parah jika langsung ke dokter." Bu Nita tersenyum ramah pada Joya yang muali nampak khawatir.

"Baiknya pulang sekolah ini kau bisa pergi ke dokter." Joya hanya mengangguk pasrah. Ada rasa takut jika akan terjadi sesuatu pada punggungnya. Joya memang tipe yang always negative thinking.

"Terimakasih, Bu." Ucap keduanya serempak.

Joya dan Juna sudah keluar dari UKS. Mereka berjalan beriringan namun dengan pikiran masing-masing. Dalam pikirannya, Joya hanya tak menyangka jika dorongan tadi bisa membuat punggungnya seperti ini. Benturannya memang cukup keras tapi apa separah itu? Sedangkan Juna,  ia sesekali melirik punggung Joya penasaran. Ia penasaran apakah lebamnya Joya separah itu? Sebegitu kerasnya Joya membentur hingga berakhir seperti itu?

"Ya, punggungku bisa berlubang jika ditatap seperti itu." Juna buru-buru mengalihkan pandangannya kearah lain, pura-pura tidak melakukan apa yang diucapkan Joya. "Kenapa melihat punggungku seperti itu?"

Baiklah, Juna menyerah.

"Aku...," jedanya dan melirik sedikit Joy. "...penasaran."

Tunggu, kenapa Juna harus penasaran? Dia penasaran dengan punggungku? Batin Joya terus bertanya dengan perkataan Juna yang ambigu.

"Ya!! Maksudmu kau ingin melihat punggungku, begitu? Dasar mesum." Joya menyilangkan kedua tangannya di depan tubuhnya. Ia menatap sengit Juna yang kini menggaruk kepalanya tidak gatal.

"Lagipula aku sudah pernah melihat punggungmu," ucap Juna dengan lancar seperti jalan tol. Dia tidak tau jika Joya sudah mau meledak jika Juna tidak segera melanjutkan perkataannya tadi. "Saat kita masih kecil, punggungmu pernah ketumpahan sup panas tante Weni."

Joya hampir saja kelepasan. Perkataan Juna yang ambigu itu ingin membuatnya menutup mulut Juna rapa-rapat.

Juna menyerong badannya, sedikit menunduk dan menatap Joya. "Itu gara-garaku karena tidak sengaja menabrak tante Weni. Kau menangis lima jam dan marah pada semua orang selama tiga hari. Bahkan kau marah pada tukang pos yang sedang mengantar kiriman."

Joya membalas tatapan Juna dengan sedikit kaget. Ia bahkan sudah lupa kejadian itu, tapi Juna mengingatnya dengan baik. Aneh, lagi-lagi Joya dihinggapi perasaan aneh. Seperti ada yang mulai tumbuh didalam sana.

"Itu 'kan anak-anak. Kau pikir  sekarang aku akan menangis seperti itu?" Joya sudah bisa mengembalikan akal sehatnya.

Juna mengangkat bahunya, kembali menghadap kedepan dan mulai berjalan. Namun, baru empat langkah, Juna berbalik dan menatap Joya.

"Sepulang sekolah, ayo ke rumah sakit. Aku akan mengantarmu. Nan---apa? mau membantah? Aku tau om dan tante kembali ke Jogja tadi pagi. Kau mungkin tidak akan pergi jika sendirian." Joya berdecak kesal saat Juna memotong ucapannya yang bahkan baru akan keluar. Kenapa juga Juna tau orangtuanya pergi tadi pagi?

Tapi, sebenarnya Joya penasaran dengan satu hal. "Kenapa mau mengantarku? Ah, maksudku kenapa juga kau harus mengantarku?" Joya merutuki mulutnya yang tiba-tiba bertanya begitu. Dia hanya penasaran tapi tidak berniat untuk bertanya. Tapi mulutnya sudah meluncur duluan.

Juna melipat tangannya didada, berpikir sejanak kemudian menjawab, "aku takut kau akan menangis dan marah pada semua orang seperti dulu." Juna tersenyum tipis sebelum berbalik dan meninggalkan Joya yang masih melongo. Joya tidak tau itu sebuah perkataan khawatir atau ejekkan. Yang jelas kini pipinya memanas entah karena malu atau marah.

○○○○

"Joyaaaaa," teriak Ocha setelah melihat Joya masuk kedalam kelas.

"Jangan teriak, kau mengganggu yang lain." Joya sudah kembali duduk ditempatnya. Beberapa siswi langsung mengerubuni Joya, penasaran apa yang terjadi setelah Joya dan Dila berkelahi.

"Bagaimana keadaanmu, Joy?" Tanya Rani yang berjongkok disamping kursi Joya.

"Baik," ucapnya singkat.

"Berani sekali Dila melakukan hal itu, memalukan. Mana dia menuduh Joya lagi," jengkel Ocha sambil mengepalkan tangannya. Dia tidak terima temannya diperlakukan seperti itu. Andai saja Ocha ikut dengan Joya tadi, pastikan tangannya sendiri yang akan menampar wajah gadis munafik alias si Dila.

"Beritanya sudah menyebar?" Tanya Joya. Ia belum tau apa-apa terkait masalah Dila yang mencuri uang yang sudah menyebar satu sekolah.

"Kau tidak tau? Setelah kalian berkelahi semuanya langsung dapat kabar jika yang mencuri uang itu si Dila. Enggak tau juga siapa yang bocorin. Yang jelas aku tidak menyangka jika itu Dila. Kalian tau 'kan kalau dia itu terlihat kaya." Sinta menggeleng kepalanya tidak percaya yang diikuti yang lain. Mereka juga tidak menyangka.

"Aku harus membalas Dila karena berurusan denganmu. Ayo, Sinta, Rani, besok kita labrak gadis tak tau diri itu, kau juga harus ikut Joy," ucap Ocha bak seorang yang sedang berorasi, menggebu-gebu. Rani dan Sinta juga ikut-ikutan bahkan mengumpulkan teman-teman perempuam yang lain untuk ikut. Joya menggelengkan kepalanya, pusing jika punya teman-teman yang berani keroyokan seperti ini.

Ohya, Joya itu teman yang disegani. Bukan, dia bukan orang yang suka berlagak memimpin, atau yang ditakuti, Joya hanya sedikit galak jika berurusan dengan kebersihan, meskipun ia orangnya gak bersih-bersih amat. Pak Sultanlah yang membuat dia menjadi seksi kebersiham dan mau tidak mau Joya harus bertanggung jawab.

Pernah satu hari Joya marah karena sapu lantai mereka hilang dan tidak ada yang tau, sehingga dia melakukan perjalan jauh mengelilingi setiap kelas demi mencari sapu itu. Dan sapu itu berada di kelas 11-C. Dan sasaran kemarahannya adalah Arif yang meminjamkan sapu itu tanpa bilang. Makannya mereka gak mau buat Joya marah.

"Tidak bisa, Joya sedang sakit."

"Hah??" Kompak Ocha, Sinta, Rani, dan beberapa teman perempuan setelah mendengar ucapan Juna.

"Punggungnya terluka."

"Hah??" Juna dan seisi kelas dibuat terkejut dengan hah dari para perempuan itu.

"Lagipula Joya di skors selama 2 hari."

"HAHH??"

"BERISIIKKK.... HAH, HOH, HAH, HOH AJAH KALIAN, AKU PUSING."

Joya langsung beranjak dari tempat duduknya meninggalkan teman-temannya yang lebay itu.







Bersambung
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tiba-tiba udah gak mood buat lanjutin ini cerita.

😥😥😥😥😥

JOY & JUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang