Seokjin memang harus sabar menghadapi Seulra. Dia harus memaklumi istrinya yang menikah di usia belia. Sifat labilnya masih ada pastinya.
Hingga kepulangan mereka ke Seoul, Seulra tetap mendiamkan Seokjin. Seokjin sampai pusing sendiri memikirkan apa kesalahan yang sudah dia perbuat hingga membuat Seulra semarah ini padanya. Seokjin lebih suka jika Seulra mengamuk dan marah-marah saja padanya, daripada dianggap tidak ada seperti ini.
Seokjin lelah, lelah sekali menghadapi Seulra yang seperti ini. Sudah seminggu, tetapi dia tetap enggan membuka suara untuk berbicara dengan Seokjin. Bahkan mereka tidur terpisah. Seulra lebih memilih tidur di sofa ruang tamu favoritnya. Tapi saat bangun, dia akan berada di ranjang mereka di dalam dekapan hangat Seokjin. Begitupun Seulra tak protes dan menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Memasak, membersihkan rumah, menyiapkan pakaian Seokjin, menyiapkan air mandinya, tetapi tidak ada acara pemasangan dasi dan mengantar Seokjin hingga beranda rumah. Seulra selalu menghindar dari Seokjin. Kendatipun ia selalu bangun di pelukan Seokjin, malam harinya ia akan tetap tidur di sofa.
Seulra sedang mengambil selimut di dalam lemari yang ada di kamar. Seokjin hanya memperhatikan dari ranjang. Pria itu sedang membaca buku tadinya. Tetapi melihat Seulra masuk kamar dengan wajah kelewat mengantuk, atensinya jadi teralihkan. Seulra mengambil dua selimut tebal sekaligus di hadapannya. Seokjin menutup bukunya, lalu meletakkan kacamata di nakas samping ranjang.
"Tidurlah disini. Biar aku yang tidur diluar." ucapnya.
"Tidak, biar aku saja." balasnya kelewat datar.
Seokjin menghela napas sedalam mungkin. Ketika presensi mungil itu mendekati pintu, dia langsung menggendong paksa tubuh Seulra sehingga membuat Seulra memekik kuat. "Turunkan! Lepaskan!" teriaknya.
"Iya sayang. Aku turunkan kok." Benar saja. Seokjin menurunkan Seulra di ranjang. Mereka duduk saling berhadapan di atas ranjang. "Sekarang jelaskan apa salahku. Aku hampir gila memikirkannya, Kim Seulra." Terdengar seperti seseorang yang teramat marah, tetapi berusaha selembut mungkin.
Seulra takut. Kedua bahunya dicengkeram cukup kuat oleh Seokjin. Gadis itu langsung mengisak. Seokjin jadi gelagapan sendiri. Berniat untuk merengkuh, tetapi jelas-jelas dia didorong oleh Seulra.
Seokjin menjambak surainya, terlalu frustasi agaknya. "Tolong, sayang. Katakan saja ada apa? Kenapa jadi begini? Apa yang membuatmu begini? Aku sangat sakit kepala memikirkannya. Jadi kumohon Seul..."
"A-aku tidak tau. Rasanya aku kesal. Tapi aku tidak tau apa kesahan oppa." Tangisnya kian kuat, hingga mengundang frustasi yang lebih tinggi bagi Seokjin.
"Sejak kapan?"
"Sejak kau meninggalkanku di pesta."
"Apa kau cemburu pada Sowon? Apa kau tidak dengar bahwa dia akan bertunangan, Kim Seulra?"
"Aku tidak bilang aku cemburu!"
"Lalu apa?"
"Aku bilang aku tidak tau!" Seulra itu persis seperti anak kecil. Ketika dia menangis dan amarahnya memuncak, maka jalan napasnya akan tersendat. "A-aku tidak suka di -dimarahi." isaknya.
"Aku tidak marah, sayang." Seokjin meraih punggung bergetar Seulra. Menangkup kedua pipinya lalu berujar, "Sekarang katakan padaku, apa yang bisa aku lakukan agar kau tak marah lagi, padaku?"
.
.
."Apa kau senang?" Seulra mengangguk. Walaupun giginya saling bergemelatuk.
Baru saja dia akan menggigit ayam yang ada di tangannya, "Ah!" Seokjin terkejut, "Oppa, ini bukan ayam, ini batu." ujarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUSBAND [BTS SEOKJIN]
FanfictionWanna know more about this story? Let's check it out!