Chapter 1b | Sand Planet (砂の惑星)

35 6 0
                                    

Beberapa jam sebelum pertandingan final Kejuaraan Bulu Tangkis Internasional 2017, entah mengapa sesuatu mendorongku ke tempat latihan Xiao Chen. Aku ingin menyampaikan kata-kata yang bisa mematahkan semangatnya –terkesan jahat memang, tapi toh anak itu juga lebih jahat padaku. Namun, perasaanku tiba-tiba tidak enak. Pikiranku memang selalu berpusat pada anak itu, dan walaupun dia memang menyebalkan, aku selalu punya hasrat untuk melindunginya. Bagaimana pun juga, dia rivalku. Ketika ada seseorang yang mengusik rivalku, berarti orang itu juga mengusik ambisiku.

Perasaan tidak enakku ini benar. Xiao Chen terduduk di atas lapangan sambil memegangi kakinya yang tertekuk. Wajahnya terlihat kesakitan saat dia berusaha meluruskan kakinya. Aku berlari menghampirinya, lalu duduk berlutut sambil meraih kakinya. Dia menepis tanganku.

"Hei! Kau mau ngapain?" gertaknya dalam bahasa Mandarin. Aku termangu sejenak sebelum meraih kakinya lagi.

"Diamlah, ini memang harus diluruskan," Aku menarik kakinya dengan cepat. Teriakan Xiao Chen pun menggema di dalam ruangan, membuat gendang telingaku hampir pecah. Lalu, aku tertegun. Seharusnya, setelah itu aku memijat kakinya yang kram ini. Tapi, aku tidak mengerti bagaimana memijatnya, takut salah. Akhirnya, aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menghubungi nomor tim medis untuk kejuaraan ini.

Tak lama waktu berselang, tim medis datang dengan membawa kotak obat dan tandu. Salah seorang dari mereka memijat kaki Xiao Chen yang tadi kram sebelum menggendongnya ke atas tandu. Lalu, aku mengekori tim medis untuk pergi ke ruang kesehatan.

"Kau kenapa bisa kram?" tanyaku sambil duduk di pinggir ranjangnya. Xiao Chen yang sedang duduk sambil meluruskan kakinya di atas ranjang hanya diam. Aku menghela napas, kemudian tanpa sadar tanganku mengusap-usap kepalanya. "Ya sudah kalau kau enggak mau kasih tahu," kataku akhirnya. "Aku mau nitip susu rendah lemak dan buah sama staf di sekitar sini biar kau punya tenaga lagi untuk tanding."

"Kenshi," desisnya.

"Yes?"

"Setelah semua yang aku lakukan padamu, kenapa kau masih baik padaku?"

Aku berhenti mengusap-usap kepalanya. Iya juga, batinku. Tapi, yah, aku punya alasanku sendiri.

"Hei, si Bodoh!" seruku. "Omongan jahatmu justru jadi pembakar semangatku, kautahu? Lagipula kau adalah rivalku. Sama seperti ambisiku, aku juga enggak mau kau diapa-apakan atau disakiti orang walaupun orang itu adalah dirimu sendiri."

Xiao Chen kembali diam.

"Tidak usah repot-repot membelikanku susu dan buah," katanya akhirnya. "Sebentar lagi, pertandingan dimulai."

Akhirnya, aku berdiri dari pinggir ranjangnya saat dokter datang dan memeriksa keadaan Xiao Chen. Katanya, kami bisa menunda pertandingan kami jika Xiao Chen belum benar-benar pulih dengan alasan Xiao Chen cedera saat latihan. Namun, Xiao Chen bersikeras untuk tanding. Melihatnya seperti itu, aku memutar bola mataku gusar. "Tuan Muda Liu, apa kau yakin untuk bertanding dengan keadaan seperti ini? Kau jangan gila—"

"Memangnya kenapa? Kesempatan menangmu jadi lebih tinggi, kan?" Dia tertawa kecil. Cih, mode menyebalkannya kembali lagi.

"Kalau begitu caranya, aku tidak akan menang dengan terhormat, dasar bodoooh!" Aku mencak-mencak di hadapannya, bahkan dokter pun sampai memegangi tubuhku yang ikut bergerak-gerak mematuhi kehendak amarahku. Lagipula, aku benar-benar kesal. Yang benar saja, menang dan menjadi nomor satu hanya karena rivalmu kakinya baru saja kram sehingga tidak bisa bergerak dengan optimal? Mau dibawa kemana harga diriku? Lebih baik aku harakiri* saja kalau seperti itu.

"Yah, walaupun sebenarnya dalam kondisi begini pun aku masih bisa tetap menang darimu, sih."

Cih, dasar sombong.

"Sok keren sekali bocah satu ini!" Aku memakinya dalam bahasa Jepang. Lalu, aku menunjuknya tepat di depan batang hidungnya. "Kalau kau kalah dariku, kau jangan nangis. Tapi kalau kau nangis, aku akan membelikanmu permen lollipop dan memintamu untuk memakannya di hadapan seluruh fans-mu sambil menangis-nangis bawang!" Aku tahu, Xiao Chen memang tidak mengerti apa yang kukatakan. Namun, aku bisa mendengarkan gerutuannya dalam bahasa Mandarin. Aku juga tidak mengerti dia bicara apa.

"Kau ngomong apa sih? English please," katanya dalam bahasa Mandarin.

"Kau juga harusnya speak English dong!" balasku dalam bahasa Jepang. "Ya ampun, aku benar-benar tidak bisa marah dengan menggunakan bahasa Inggris!"

Dokter hanya bingung melihat kami berdua berargumen tanpa tahu argumen lawan seperti apa.

"Kau boleh optimis bisa menang dariku, tapi aku cuman membeberkan fakta kalau sebenarnya kau tidak pernah menang dariku sejak awal kita dipertemukan!" seru Xiao Chen, namun yang kudengar darinya hanya chang-chong-ching-chong. Gomen, Bruh.

"Chang ching xiao chang chong xiao na chao chong—" Aku menirunya dengan raut wajah meledek.

"Kau ini ngomong apa, sih?" Wajah Xiao Chen mulai memerah macam kepiting rebus. Terlihat jelas sekali karena kulitnya yang putih. Lagi-lagi, yang kudengar hanya nao-cho-ai-chong-ching apalah itu.

Aku menghela napas sambil menatapnya yang masih terduduk lemah di atas ranjangnya. Bagaimanapun juga, rivalku masih sakit. "Alright, Mr. Liu. Get well soon," Aku mengacak-acak rambutnya dan itu membuatnya tampak kesal, setelah itu aku memeletkan lidah ke arahnya sebelum pergi meninggalkannya yang pasti sudah gondok tripel kuadrat akar pangkat seratus per dua.

Akhirnya, kami tak saling bicara lagi sampai pertandingan hendak dimulai. Aku dan Xiao Chen berjalan melewati lorong yang berbeda untuk menuju lapangan pertandingan. Namun, sebelum itu di depan ruang kesehatan –aku memang sengaja menghampiri Xiao Chen untuk mengecek keadaannya, sebelumnya aku sudah minta izin manajer dan pelatih, Xiao Chen berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menatapku tajam dari atas sampai bawah.

"Kenshi, kau ini bagaimana?" katanya tiba-tiba. "Ponimu hampir nutupin mata, tuh."

Aku pun memegangi poniku yang memang sudah memanjang. Berbeda dengan atlet lainnya, rambutku memang agak panjang. Oleh karena itu, setiap pertandingan aku selalu mengikat rambutku ke belakang. Namun, aku selalu lupa untuk mengikat poniku juga. Pelatih dan manajer selalu menyuruhku untuk potong rambut, tetapi aku tidak mau. Aku tidak mau kekerenanku menghilang.

Tanpa disangka-sangka, Xiao Chen meraih sejumput poniku dengan kedua tangannya dan mengikatnya dengan ikat rambut kecil yang ternyata sedari tadi digenggamnya. "Aku sebenarnya risih sedari tadi melihatnya," katanya sambil mengikatkan poniku. "Bagaimana kau bisa bertanding dengan poni yang seperti itu tadi? Lagipula kenapa kau tidak potong rambut saja? Atlet cewek saja banyak yang potong rambut dengan model boy's cut. Ini kau malah model girl's cut."

Aku terkekeh mendengarnya. Ternyata dia agak cerewet juga walaupun dia berbicara dalam bahasa Inggris.

"Karena risih, aku jadi minta ikat rambut pada dokter," lanjutnya. Setelah itu, dia menatap kunciran poniku yang pasti akan terlihat lucu di hadapan penonton nanti. Gila, aku baru sadar. Sepertinya, para penonton akan menertawakanku nanti dan itu membuat mentalku ciut. Bagus juga strategi seorang Xiao Chen ini, begitu halus dan mulus permainan psikologisnya.

"Jangan berpikir yang aneh-aneh," Xiao Chen keburu berbicara begitu aku baru mau membuka mulut. "Daripada kau tidak bisa melihat dengan baik, lebih baik kau ditertawakan orang-orang," Aku baru sadar, Xiao Chen terlihat menahan tawanya. "You only have to not give a shit for them."

Setelah mengatakan hal itu, Xiao Chen pun meninggalkanku.

Ya, terserah saja.

--**--**--

[A/N]

*harakiri : budaya bunuh diri di Jepang yang disebabkan oleh rasa malu.

Di laptop udah mau masuk konflik.

Wow Ana gercep y

Orange Spirit Special : Win and Lose (勝ち負け/Win or Lose) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang