Chapter 2b | Loser (敗者)

26 6 0
                                    

26 Maret 2018

"Minumlah, kau pasti lelah."

Naomi Ebisawa menuangkan teh hangat dari teko ke dalam cangkir yang ada di hadapanku. Aku dan gadis itu saat ini duduk berhadapan, dipisahkan oleh sebuah meja kecil. Entah mengapa, bantal duduk yang saat ini kududuki jadi terasa dingin. Mungkin karena hawa musim semi yang masih terasa layaknya musim dingin. "Arigatou," Aku meraih secangkir teh itu dan menyeruputnya. Naomi tersenyum lembut melihatku.

"Naomi-chan, apa kau mau ke Tokyo besok?" tanyaku sambil meletakkan kembali secangkir teh itu di atas meja.

"E-eh?" katanya. "Kenapa tiba-tiba kau mau mengajakku ke Tokyo?"

Aku tersenyum. "Tentu saja mau ajak kau jalan-jalan melihat festival bunga sakura di sana," jawabku. "Kau pasti lelah juga dengan kuliahmu. Aku enggak habis pikir, kenapa kau mengambil jurusan ilmu komputer, sih?"

Naomi tertawa sambil menutup mulutnya. "Ya ampun, sudah berapa kali sih kau menanyakan hal itu? Aku ambil jurusan itu ya karena aku suka. Lagipula, sebenarnya aku juga enggak mau kemana-mana, sih. Lebih baik kita nonton televisi saja di rumahku ini."

Akhirnya, kami berdua pun memutuskan untuk menonton televisi di ruang keluarga Naomi. Kedua orang tua Naomi sedang berangkat kerja, dan Naomi sedang tidak ada kelas di kampusnya. Sembari menatap ke arah layar televisi, gadis itu meletakkan kepalanya di atas pundakku sembari memeluk pinggangku. Aku mengusap-usap rambut hitamnya yang halus, begitu halus seperti hubunganku dengannya. Namun, sebenarnya aku sedang memikirkan orang lain.

Tenang saja, orang itu Xiao Chen, kok.

Sejak kekalahanku yang menyedihkan tahun lalu itu, aku jadi tidak berhenti memikirkannya. Bahkan, mungkin sampai bertahun-tahun pun dia tidak akan lepas dari pikiranku. Dia adalah orang kedua dari negara lain yang kupikirkan selain Ahn Ri Ya, idol K-Pop yang membintangi drama korea kesukaanku. Ya, selain Naruto aku juga suka nonton drama korea –ya, aku benar-benar tidak malu untuk memberitahukan kalian tentang hal ini. Kalau bukan gara-gara Naomi yang meracuniku dengan drama itu, aku hanya akan mau nonton Naruto selama-lamanya.

Aku memikirkan Tuan Muda Liu yang menyebalkan itu. Tatapan matanya yang dingin, gerakannya yang cantik, omongannya yang menyebalkan dan—

Hal-hal manis yang rivalku lakukan tanpa sadar padaku waktu itu.

Ya, momen saat dia dengan inisiatif mengikatkan poniku. Seharusnya Manajer Kishinawa yang melakukan itu. Tapi, dia malah dengan teganya menyuruhku untuk mencukur rambut saja. Dude, seorang Kenshi Takuya benar-benar akan kehilangan pesonanya jika ia mencukur kepalanya sampai botak dan tak tersisa. Saitama bukanlah role model-ku. Period.

"Kenshi, kenapa kau diam saja? Kau sakit?" Naomi terdengar khawatir. Lalu, dia menunjuk tayangan drama yang sedang kami tonton. "Biasanya, kau ngoceh-ngoceh kalau sudah ada antagonis yang itu. Tumben sekarang kau diam saja. Ada yang kaupikirkan, hm?"

Naomi menoleh ke arahku, kedua matanya menatapku dengan binar yang lucu. "Jangan bilang kau memikirkan orang lain," katanya sambil merengut.

Aku hanya diam dan menatap matanya sejenak.

"Tidak, cuman kau yang aku pikirkan," Aku menjawil hidungnya dan dia pun tertawa kecil. Setelah itu, pandangan kami beralih ke layar televisi yang sebenarnya malah menonton kami berdua yang sedang bermesraan. Ya, aku berbohong. Aku bilang padanya bahwa hanya dia yang kupikirkan, tetapi fakta sebenarnya mengatakan bahwa seorang Liu Xiao Chen yang seakan mengobrak-abrik ruang pikiranku.

Tiba-tiba, ponsel yang ada di atas lantai tempatku duduk pun berbunyi. Aku mengambilnya, lalu menatap nama Heiji yang tertera di layar. "Ah, telepon dari Hattori," gumam Naomi. Gadis itu pun melepaskan pelukannya dari pinggangku, kemudian duduk dengan posisi normal. Sementara itu, aku mengangkat telepon Heiji dan menempelkan ponselku di telingaku. "Halo, Heiji? Bagaimana kabarmu di Beijing?"

"Aku baik-baik saja, Kenshi. Tapi—" Dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan bicaranya. "Kami belum melangsungkan penyelidikan. Ayah dari Yang Yang sendiri masih percaya bahwa anaknya bunuh diri."

Aku terdiam, berusaha memproses kata-kata yang tadi disampaikan oleh Heiji. Aku memang tidak tahu menahu soal misteri meninggalnya anak yang bernama Zhang Yang Yang itu karena aku percaya untuk menyerahkan segalanya pada Heiji, sepupuku itu. Apalagi pada temannya yang bernama Shinichi, aku percaya bahwa dia lebih pro daripada Heiji. Namun, orang awam pun kalau begini pasti juga merasa ada yang aneh—

"Tunggu—"

"Kau juga berpikir seperti itu, kan, Kenshi?"

"Seharusnya, dalam kasus semacam ini si Ayah yang justru tidak percaya bahwa anaknya bunuh diri dan pasti akan ngotot bilang bahwa anaknya dibunuh."

"Kau benar. Secara psikologis, ketika kita ditinggal oleh orang yang kita sayangi secara misterius –mau apapun dan sekonkret apapun buktinya, otak akan bekerja secara tidak rasional dan menghapus bukti-bukti itu, lalu tetap pada asumsi bahwa orang yang kita sayangi meninggal karena dibunuh," jelas Shinichi dari balik telepon. "Nah, kaudengar kan analisis dari detektif sombong ini?" Kali ini Heiji mengambil alih bicaranya.

"Jadi, kau berpikir bahwa ayahnya Yang Yang ini pelakunya?" tanyaku.

"Tidak juga," Sekarang Shinichi lagi yang menjawab. "Analisis tidak sama dengan main tuduh-tuduhan. Tapi, aku menemukan sesuatu di belakang sofa ruang tamu rumah besar keluarga Zhang, beserta foto Xiao Chen—"

Begitu Shinichi memberitahuku apa yang ditemukannya, seketika mataku membulat.

Apa?

--**--**--

Orange Spirit Special : Win and Lose (勝ち負け/Win or Lose) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang