Chapter 2a | Loser (敗者)

32 6 0
                                    

--**--**--

Setiap waktu,

Setiap tahun,

Aku selalu bertanya-tanya

Kapan aku bisa mengalahkanmu, angsa putih?

--**--**--

Seperti yang sudah kuduga, orang-orang –para penonton langsung berbisik satu sama lain begitu aku mengambil raket dari sarungnya di pinggir lapangan. Sambil minum, aku mendengarkan pesan pelatih. Lalu, aku berjalan ke tengah lapangan dan langsung disambut dengan meriah oleh tepukan para penonton. Tanpa sengaja mataku bertatapan dengan seorang gadis yang duduk paling depan. Dia menunjuk ke arah kunciran poni yang dibuat oleh Xiao Chen sialan ini, lalu terkekeh sambil menutup mulutnya. Awas saja kau Xiao Chen, pacarku –Naomi Ebisawa jadi menertawakanku gara-gara ini.

Xiao Chen menatapku dengan tatapan dinginnya. Seolah menjadi sebuah tradisi, dia menyatukan kedua telapak tangannya dan membungkuk ke arahku yang dipisahkan oleh sebuah net.

"Ni hao," sapanya.

Aku membalasnya dengan melakukan ojigi, salam orang Jepang dengan membungkukkan badan untuk menghormati orang yang ada di depan. Aku bahkan membungkukkan badan sampai sembilan puluh derajat, walaupun dalam hati aku benar-benar tidak tulus melakukannya. Ya, untuk anak ini aku memang tidak pernah tulus dalam melakukan ojigi. "Konnichiwa," sapaku.

Pertandingan pun dimulai. Aku bisa melihat Naomi bertepuk tangan sambil tersenyum untuk menyemangatiku. Dia memang menggemaskan, tetapi aku harus fokus pada bocah bernama Liu Xiao Chen yang sedang bersiap untuk melakukan servis di hadapanku ini.

"Yabai," desisku begitu melihat gerakannya. Anak itu benar-benar gila. Dia tidak hanya lincah dan gesit, tetapi juga punya gerakan yang cantik. Daripada bermain bulu tangkis, dia lebih terlihat seperti sedang menari tarian tradisional China. Napasku memburu, berusaha untuk mengembalikan bola yang dia pukul ke arahku.

Gerakannya benar-benar membuat orang-orang terpana. Dia seperti mengubah olahraga menjadi sebuah karya seni, dengan tubuhnya sendiri sebagai wujud seni itu. Bahkan, aku sendiri sebagai seorang laki-laki juga bisa tidak fokus melihatnya karena bocah ini yang terlalu menawan di atas lapangan.

Set pertama, kemenangan untuk Liu Xiao Chen.

Salah satu staf mengelap keringatku yang sudah bercucuran. Sementara itu, pelatihku terus mengoceh di telingaku. "Kau memang selalu kalah dari anak itu," katanya. "Tapi aku tahu tidak ada yang tidak mungkin, Kenshi. Kau masih punya dua set lagi untuk menang."

Set kedua pun dimulai. Pertama-tama, aku harus berterimakasih pada Xiao Chen sebelumnya. Karena anak itu, aku jadi bermain lebih baik karena poniku tidak lagi menutupi mata. Namun, dalam set ini dia bermain lebih gila. Lebih lincah, lebih gesit—

Lebih cantik.

Seperti biasa, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, aku tidak menyerah. Aku selalu ingat bahwa aku adalah Orion, sang pemburu. Pemburu mimpi, pemburu hal-hal yang mustahil. Orion yang berisikan banyak bintang bersinar, bintang-bintang yang kugambarkan sebagai orang-orang di sekitarku. Orang-orang yang selalu mendukung mimpiku walau dari luar kelihatannya tidak. Bintang-bintang paling terang yang kulihat di konstelasi Orion –merepresentasikan kedua orang tuaku, dan Naomi.

Liu Xiao Chen, si angsa putih yang sedang menari-nari dengan raketnya ini adalah pemicu semangat cahaya jinggaku. Ya, semangat cahaya jingga. Semangat yang aku tidak tahu darimana nama itu berasal. Yang jelas, seperti ada deru angin yang membisikkan kata-kata itu. Kata-kata seperti, "Orange Light Spirit. Orange Spirit."

Tanpa harus mengatakan hal-hal yang menyebalkan, Xiao Chen sudah sukses mengintimidasiku di lapangan. Tak lama kemudian, kami berdua beristirahat sejenak karena lantai akan dipel. Staf itu kembali mengelap keringatku, tanpa ada ocehan dari pelatih. Justru, pelatih malah menepuk pundakku. "Aku bisa melihat kerja kerasmu, Kenshi," tegasnya. "Kalau kau tidak bisa menang lagi darinya, mungkin tahun depan bisa."

"Tahun kemarin kau juga bilang begitu, Iruka-sensei," kataku sambil mengatur napasku yang tersengal-sengal karena pertandingan gila tadi. Angkaku yang masih tertinggal jauh dari angka milik Xiao Chen benar-benar membuatku stress sampai ingin menangis rasanya. "Aku akan mencoba sebisaku tahun ini, Sensei. Kalau aku kalah, bisa-bisa Osaka tidak akan mau menyambut kepulanganku dari Tokyo ini."

"Jadi selama pertandingan kau memikirkan hal itu?"

Ucapan pelatih membuat staf yang masih mengelap keringatku pun menghentikan kegiatannya. Aku menghela napas. "Tidak, Sensei. Selama pertandingan, aku fokus pada permainanku dan permainan lawan. Tapi ketika di sini—" Aku menghentikan kata-kataku sejenak. Kedua mataku sudah mulai berkaca-kaca. Ketika kau membawa mimpimu, ambisi besarmu, nama baik negara, dan rasa lelah serta stress yang tak berkesudahan ini, kau akan lebih emosional.

"Menangislah dulu, tidak apa-apa," Iruka-sensei mengusap-usap punggungku yang membungkuk sembilan puluh derajat. Aku menahan tubuhku dengan menekan kedua lututku. "Kalau air mata bisa membuatmu jadi lebih kuat, tidak apa-apa. Aku tidak akan mempermasalahkannya, kau pasti lelah," lanjutnya. "Tapi, setelah itu kau harus bangkit kembali. Jangan kasih kendor pada lawan."

"Eum—" Manajer Kishinawa tiba-tiba terbatuk. "Itu, kalau dia menangis dan tersorot media bagaimana, ya?"

Aku tertegun. Lalu, mengumpat dalam hati.

"Tidak, aku tidak selemah itu, Sensei!" Aku menegakkan badan. Tak lama berselang, aku harus melanjutkan pertandingan. Aku tahu, pelatihku ini sedang berpikir bahwa aku terlalu memaksakan diri. Namun, setiap kali ada kesempatan seperti ini, memang harus diperjuangkan, bukan? Dia pelatihku, jadi dia seharusnya lebih tahu akan hal itu.

Setiap kali aku hendak mengejar angka, Xiao Chen semakin tidak mudah terkalahkan. Selain si-angsa-putih, para penikmat bulu tangkis juga menjuluki Liu Xiao Chen sebagai si-tak-mudah-terkalahkan. Sampai akhirnya, Xiao Chen mampu menghasilkan angka 21 pada set kedua ini. Alias—

Aku kalah lagi.

Shit, here we go again.

Xiao Chen kembali menyatukan kedua telapak tangannya seperti pada awal pertandingan dan membungkukkan badan di hadapanku. "Xie-xie," katanya. Aku menggigit bibir bawahku. Terima kasih katanya? Tentu saja, terima kasih karena sudah membuatnya menang lagi.

Yah, aku pun membalasnya dengan ojigi yang cepat. "Arigatou gozaimasu," sahutku cepat, lalu meluncur pergi menghampiri pelatih dan manajer yang menunggu di pinggir lapangan.

Itulah salah satu cerita kekalahanku.

--**--**--

[A/N]

Aku mau UTS onlen dulu.

Bubye.

Luv,

Ana 🧡🔥

Orange Spirit Special : Win and Lose (勝ち負け/Win or Lose) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang