Chapter 7b | Friend (朋友)

21 6 0
                                    

Beberapa hari setelah itu, aku dan Xiao Chen menjadi semakin dekat. Bahkan aku pernah memergokinya sedang menonton drama korea, yang berakhir dengan kami menonton bersama di atas sofa kamarku. Pelatih dan manajer mulai merasa aneh dengan hubungan kami berdua, yang biasanya suka beradu mulut setiap kali bertemu, sekarang malah ber-high five ria lalu menggenggam tangan masing-masing. Namun, mereka tidak mempermasalahkan hal itu sepertinya.

Siang ini adalah siang menuju pertandingan semifinal. Tahun ini, Indonesia –sama seperti negara-negara lainnya—hanya mengirimkan satu perwakilan, yang bernama Isro. Biasanya, Akmal akan ikut bersama Isro. Namun karena hanya ada satu orang dari satu negara yang menjadi perwakilan, Akmal tidak ikut. Sepertinya, kami akan merindukannya karena dia selalu menjadi hiburan bagi kami –terutama Xiao Chen karena dia adalah lawan langganan Xiao Chen—dengan racauannya yang kacau.

Aku dan Xiao Chen beristirahat di dalam ruang latihanku setelah Xiao Chen membawakanku jeruk lagi. Saat ini Xiao Chen sedang tiduran dengan kepalanya yang berada di atas pahaku, sementara itu aku mengusap-usap dahinya sambil berkirim pesan dengan Naomi yang katanya akan berangkat ke Beijing setelah ujian di kampusnya untuk menonton pertandingan finalku.

"Kau yakin ini akan awet?" tanya Xiao Chen sembari mengernyit begitu menatap cincin persahabatan kami yang melingkari jari kelingkingnya, dan cincin itu memang kubuat dari tali rafia. Sebelumnya, kami saling mengikatkan tali itu di jari kelingking masing-masing.

"Kau tidak tahu, ya, kalau aku kreatif dan brilian?" Aku terkekeh dengan mata yang masih terfokus pada layar. "Dengan kekuatan cinta –tentu saja cinta platonis, cincin itu pasti akan awet sampai selama-lamanya."

Beberapa lama kemudian, aku bisa mendengar Xiao Chen yang menggumam dalam bahasa Mandarin. "Terserah kau saja."

Tak lama kemudian, di antara kami tidak ada yang bersuara lagi. Begitu aku melirik Xiao Chen, ternyata dia sedang tertidur pulas. Wajahnya yang polos terlihat lelah. Ya, dia pasti lelah dengan semuanya. Lelah dengan masa lalunya, lelah setelah semua beban yang dia simpan di dalam kepalanya kini terangkat. Aku tidak menyangka, ternyata angsa putih kesayanganku ini menyimpan rahasia dalam tarian cantiknya. Rahasia yang melibatkan keluarganya, yang membongkar fakta bahwa sebenarnya lapangan bulu tangkis bukanlah habitat alami sang angsa putih.

Seketika, aku terkesiap. Tersadar akan sesuatu.

"Xiao Chen," Aku berbisik lembut di telinganya agar dia terbangun. Akhirnya, anak itu perlahan membuka kedua matanya.

"Yes?"

"Coba buka bajumu."

"NANI?"

Xiao Chen sontak terlonjak kaget dan duduk di hadapanku sembari menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya. Wajahnya terlihat memerah sampai ke telinga, dan dia menatapku dengan tatapan panik. Sementara itu, otakku seketika berhenti bekerja begitu melihat reaksinya. Seriously, he act surprised in Japanese? Dia terkejut dalam bahasa Jepang? That's kawaii.

"Eum, maksudku—" Aku mencoba meluruskan kesalahpahaman ini, tapi Xiao Chen sudah keburu merinding. "Ada yang mau kucari tahu— tolong jangan salam paham—"

"Bagaimana aku tidak salah paham? Wajahmu itu seperti orang mesum!"

Aku syok mendengar kata-katanya. Seriously, wajahku seperti orang mesum katanya? Bocah ini benar-benar membuatku kesal. Akhirnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku langsung bergerak untuk melepas bajunya. Dia berusaha untuk mendorongku dengan sekuat tenaga, sampai akhirnya tubuhnya berada di atas tubuhku. Wajahnya terlihat benar-benar memerah sekarang.

"Kau salah paham, aku menyuruhmu buka baju biar aku bisa melihat bekas cambuk itu," kataku sembari mengatur napas setelah pergulatan kecil tadi.

"Oh," Dia duduk kembali di tempatnya tadi, lalu membuka bajunya di hadapanku. "Bilang dong sedari tadi. Tapi berhati-hatilah, mungkin kamu akan merasa tidak nyaman saat melihatnya."

Aku beranjak dari posisi berbaringku, kemudian melihat bekas cambukan yang ada di punggung mulus Xiao Chen. Garis-garis yang hampir memudar itu membuatku meringis. Sebegitu teganya kah hanya karena ambisi? Sampai hampir menghilangkan nyawa anak sendiri dan menghilangkan nyawa orang lain yang menghalangi jalan menuju ambisi itu? Itu bukan ambisi yang sehat, rivalitas bukan seperti itu.

Seketika, aku bisa merasakan arwah Jovi yang menangis karena melihat penderitaan ini.

Aku menyentuh bekas cambukan itu dengan berhati-hati.

Liu Xiao Chen,

Walaupun kau adalah rivalku, aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti yang ayahmu lakukan.

Karena,

kami jauh berbeda.

--**--**--

Orange Spirit Special : Win and Lose (勝ち負け/Win or Lose) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang