Chapter 7a | Friend (朋友)

21 6 0
                                    

--**--**--

Di musim semi ini,

Pertama kalinya kita merasa bahwa semuanya baik-baik saja

Arena itu,

berbeda dengan apa yang kita rasakan

Di bawah kelopak bunga itu

--**--**--

Xiao Chen membawaku berlari keluar dari rumah itu saat semua orang sibuk menenangkan ibunya sendiri. Lalu, setelah menerjang angin dan menghalau debu, kami berhenti di depan minimarket dan membeli beberapa makanan yang tidak biasa kami makan. Sebagai atlet, biasanya kami akan makan makanan yang hambar dan tidak enak –baca : sehat—untuk menunjang pekerjaan. Namun, karena Xiao Chen tidak ragu untuk mengambil cup mie instan, akhirnya aku mengambil cup ramen kesukaanku dan—

Takoyaki?

Serius? Di dataran Tiongkok ini ada takoyaki?

Akhirnya, aku membeli makanan yang namanya hampir sama dengan namaku –Takuya itu. Setelah selesai membeli makanan, aku dan Xiao Chen makan berdua di meja yang telah disediakan di depan minimarket. Aku benar-benar tidak percaya, saat ini aku sedang makan bersama rival besarku di ajang Kejuaraan Bulu Tangkis Internasional ini.

"Terkadang, aku kangen makan makanan seperti ini," kata Xiao Chen sembari menyuapkan mie-nya ke mulut dengan menggunakan sumpit. Sedari tadi, aku menatapnya sembari tersenyum dengan mata berbinar-binar dan pose menopang dagu. Tak lama waktu berselang, Xiao Chen menoleh ke arahku dengan mata sipit tajamnya. "Kau kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya.

"Tidak," Aku tertawa kecil. "Aku hanya tidak menyangka bisa seperti ini dengan rivalku sendiri."

Ya, aku juga benar-benar tidak menyangka bahwa Xiao Chen mulai agak leluasa menunjukkan apa yang dia rasakan padaku. Padahal, rasanya baru kemarin dia menganggapku orang asing. Stranger. Foreigner. Apakah karena kami menyebutkan kata 'cinta' dengan bahasa yang sama? Entahlah. Yang jelas, kata-kata Jovi sangat mindblowing. Arwah itu memang lumayan jenius.

Tapi ya sudahlah.

Aku pun akhirnya menyuapkan takoyaki itu ke mulutku dengan semangat sampai tidak sempat merasakan rasanya.

"Kenshi, makannya pelan-pelan," kata Xiao Chen. "Nanti kau tersedak."

Seketika, aku memberhentikan kegiatan makanku. Sembari menyimpan kebahagiaan dalam hati karena perhatian Xiao Chen padaku, aku pun melanjutkan kegiatan makanku kembali seperti yang Xiao Chen bilang. Makan dengan pelan-pelan, katanya. Xiao Chen tersenyum melihat kelakuanku. Tapi, kali ini senyumannya terlihat lebih lembut dan bersahabat.

"Kau nurut sekali ya padaku? Aku jadi berpikir, apakah kau bakal senurut ini kalau kau kuminta untuk kalah saja dalam pertandingan final?"

Mendengar perkataannya itu, aku seketika tersedak. Xiao Chen mengusap-usap punggungku, kemudian menyodorkan sebotol air mineral yang dia beli tadi padaku. Aku meminumnya. "Yang benar saja," kataku sembari menatapnya kesal. "Aku pasti akan jadi penurut di hadapanmu. Tapi kalau soal pertandingan, maaf. Aku akan membangkang. Walaupun kau memohon-mohon padaku dengan perlakuan semanis apapun, aku tidak akan membiarkanmu menang."

Xiao Chen terkekeh. "Sudah kuduga," katanya. "Tapi kau janji, kan, tidak akan kalah sampai pertandingan final nanti?"

"Tentu saja," tegasku.

"Soalnya, aku ingin sekali bertanding denganmu."

Xiao Chen menatapku dengan tatapan yang berbeda dibandingkan dengan tatapan yang biasa dia tujukan padaku sebelumnya. Lebih lembut, jauh berbeda dengan tatapannya yang dulu. Seketika, dadaku menghangat. Apakah itu berarti anak ini berhasil menyingkirkan kebenciannya padaku dan memaafkan masa lalunya? "Ya, aku sudah tidak benci lagi padamu," kata Xiao Chen, seakan-akan mampu membaca pikiranku. "Setelah kupikir-pikir, kau berbeda dengan ayahku. Walaupun ambisi kalian sama, tapi aku yakin dari caramu memperlakukanku, kau berbeda dengan ayahku. Kau peduli padaku, bahkan kau terlalu peduli. Kau sangat baik walaupun kau bukan dari negaraku."

"Terima kasih," lanjutnya sembari tersenyum, manis sekali. Bahkan, aku yang laki-laki saja tidak kuat melihatnya. Tetapi, tentu saja aku menyimpan perasaan gemas itu dalam hati.

"Kalau begitu, can we be a best friend?" Aku menunjukkan jari kelingkingku. Tak kusangka, Xiao Chen mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku.

"Yes."

Wow. Aku tak menyangka, rasanya sama persis seperti saat Naomi Ebisawa menerima pernyataan cintaku beberapa tahun yang lalu. Seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutku, dan dada yang kembali menghangat. Setelah itu, aku kembali memakan takoyakiku. Aku baru sadar, ternyata rasanya berbeda dengan yang di Jepang. Akhirnya, aku tidak memakannya lagi.

"Biasakan untuk menghabiskan makananmu, Kenshi," kata Xiao Chen. "Apa mau kusuapi?"

Tiba-tiba, dia mengambil takoyakiku dengan sumpitnya dan menyodorkannya ke mulutku. Tanpa sadar, aku membuka mulut dan melahap takoyaki itu. Entah mengapa, tiba-tiba rasanya jadi enak. Apa karena disuapi Xiao Chen makanya rasanya jadi enak?

"Enak?" tanyanya.

Aku mengangguk-angguk dengan makanan yang masih ada di dalam mulutku.

"Itu karena aku yang suapi makanya jadi enak," Xiao Chen memang anak yang sombong, tetapi kali ini aku benar-benar setuju padanya.

"Xiao Chen, aku bisa bahasa Mandarin, lho," kataku tiba-tiba setelah menelan makananku.

"Huh? Paling cuman 'Ni hao'"

"Wo ai ni."

Xiao Chen menatapku dengan tatapan kaget. Lalu, seketika dia tertawa sambil menyembunyikan wajahnya yang memerah sampai ke telinga. "Kenshi," katanya dengan kedua pipi yang masih bersemu merah. "Jujur, kau adalah orang pertama yang mengatakan kata-kata itu padaku. Aku benar-benar merasa aneh mendengarnya, karena dalam keluargaku sendiri kata-kata itu bahkan menjadi kata-kata yang terlarang. Saat kecil, aku pernah bilang 'wo ai ni' pada ayahku tapi ayahku malah memarahiku dengan berkata, 'apa kau sudah gila sampai mengatakan hal semacam itu?'"

Seketika, aku kasihan padanya. Dia menceritakannya dengan lucu. Biasanya aku yang receh ini akan tertawa mendengarnya. Namun karena rasa kasihan itu, aku jadi tidak bisa tertawa.

"Wah, kalian ternyata di sini rupanya."

Sebuah mobil polisi yang tadi membawa kami ke rumah keluarga besar Zhang pun berhenti di depan kami. Kaca jendela diturunkan, memperlihatkan Heiji yang menatap kami dengan tatapan yang sama sekali tak bisa kudefinisikan. Tak lama kemudian, dia turun dari mobilnya dan menatapku serta Xiao Chen secara bergantian. "Takuya-san, sedari tadi aku mencarimu dan ternyata kau malah pacaran dengan rivalmu di sini!" serunya.

"Apa, sih? Xiao Chen yang mengajakku ke sini, apalagi aku kan juga mau punya quality time bersama rivalku ini!"

"Quality time ndasmu!"

Sementara itu, Xiao Chen menatap kami yang berargumen dalam bahasa Jepang secara bergantian dengan tatapan bingung.

Ya,

tanpa terasa senja datang, seakan menjadi saksi dari awal persahabatanku dengan Liu Xiao Chen.

--**--**--

[A/N]

Cie udah temenan.

Orange Spirit Special : Win and Lose (勝ち負け/Win or Lose) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang