Chapter 5a | Ai (愛)

28 6 0
                                    

--**--**--

Jika yang kaurasakan hanya kebencian,

Kapan kau akan mendapatkan—

Cinta?

--**--**--

Beberapa hari setelah itu, aku tidak menyangka bahwa satu keranjang jeruk pemberian Xiao Chen akan habis olehku seorang. Padahal, aku sama sekali tidak menyukai jeruk. Sebuah keajaiban, batinku. Namun, entah mengapa jeruk itu rasanya juga manis. Mungkin karena pemberian dari Xiao Chen makanya rasanya jadi manis di mulutku?

"Kau mulai senang dengan rivalmu itu, kan?" Jovi duduk di atas sofa sambil membolak-balikkan halaman demi halaman novelku lagi. Setelah itu, dia beranjak dari tempat duduknya dan terbang ke sana kemari. "Wow, sebuah keajaiban," katanya. Aku juga benar-benar terkesan dengan bahasa Jepang arwah satu ini. Seperti sebuah keajaiban.

"Kau dulunya orang Indonesia, kan? Kenapa bahasa Jepangmu lancar sekali?" tanyaku pada Jovi yang berhenti terbang dan berdiri di hadapanku. Dia mengernyitkan dahinya sejenak, kemudian tertawa keras.

"Justru di telingaku, kau berbicara dalam bahasa Indonesia," Dia tertawa sampai memegangi perutnya. Setelah tawanya agak mereda, dia pun menjelaskan sesuatu padaku. "Sebagai arwah yang diberi misi untuk menemani anak-anak yang kesepian atau anak-anak yang berkali-kali gagal dalam mewujudkan mimpinya, kami diberi kemampuan untuk menerjemahkan apa yang orang asing bicarakan, sekaligus mampu berkomunikasi dengan mereka. Takuya-san, ah—maksudku Kenshi, sekarang menurutmu aku memang bisa berbicara bahasa Jepang, tapi sesungguhnya aku sedang berbicara dalam bahasaku sendiri."

Aku mengangguk-angguk tanda mengerti sambil ber-'oh' panjang.

"Sekarang aku mau nanya, nih," Jovi meraih kedua pundakku, lalu menatapku lekat-lekat. "Ada yang mau kau selidiki juga, kan, dari rivalmu itu?"

Aku tidak menjawab.

"Kau ingin mencari tahu hubungan antara Liu Xiao Chen dengan Zhang Yang Yang, pemain bulu tangkis U15 yang pernah mengalahkan Xiao Chen 6 tahun yang lalu dan berujung pada kematian tragis akibat bunuh diri, kan?" Jovi menatapku dengan penuh selidik. Aku tetap tidak menjawab, tetapi aku benar-benar tidak suka dengan caranya yang seperti berprasangka buruk padaku. Kaupikir, aku akan menjatuhkan si angsa putih, Jovi? Tidak, kau salah besar.

Aku menghela napas sebelum menjelaskan yang sebenarnya. "Jovi, kau salah paham," kataku. "Aku justru mau menyelidiki itu karena kasus Zhang-siapalah itu aku tidak peduli –aku hanya peduli Xiao Chen, juga bisa mengungkapkan apa yang Xiao Chen sembunyikan dariku. Aku tahu, Jovi. Aku cuman orang asing di matanya. A foreigner. Kami bahkan beda kewarganegaraan, dan hanya bertemu setahun sekali. Apalagi dia rivalku, dimana kami enggak boleh terikat secara emosional."

Jovi yang tadinya berprasangka buruk padaku pun kini mulai menatapku dengan tatapan prihatin.

"Awalnya dia memang sombong, menyebalkan dan selalu berusaha untuk menjatuhkan mentalku, tapi—" Aku perlahan tersenyum. "Aku sadar, sebenarnya dia anak yang baik. Dia sebenarnya memerhatikanku dengan baik seperti aku memperhatikannya saat ini. Dia bisa jadi anak yang manis, kalau saja dia tidak bilang bahwa aku mengingatkannya pada orang yang dia benci, yaitu—"

"Ayahnya," sambung Jovi. "Dia benci dan takut pada ayahnya."

"Alat cambuk, foto Xiao Chen. Mimpi buruk Xiao Chen. Semua perlahan mulai jelas," tegasku. Lalu, aku pun mengambil ponselku yang ada di atas nakas dan menghubungi Heiji. "Ha-halo, Heiji?"

"Takuya-san!" serunya dari ujung telepon. "Ada apa?"

"Kau masih sedang mengungkap kasus pembunuhan Tuan Muda Zhang?" tanyaku. "Kalau iya, tolong beritahu aku perkembangannya, baru setelah itu aku akan menyampaikan sesuatu soal foto Xiao Chen dan alat cambuk yang kalian temukan di belakang sofa ruang tamu keluarga besar Zhang."

"Shinichi akhir-akhir ini meminta para polisi untuk mendatangkan orang tua Xiao Chen ke rumah keluarga besar Zhang. Kemarin mereka datang, dan mereka akhirnya dimintai keterangan soal hubungan pertemanan antara Xiao Chen dengan Zhang Yang Yang," jelas Heiji. "Sebenarnya, dia juga mau meminta keterangan dari Tuan Liu Xiao Chen sendiri, tetapi tidak bisa karena kalian ada pertandingan, kan?"

Heiji benar. Tapi tunggu –kedua orang tua Xiao Chen dimintai keterangan? "Heiji, tolong kau bilang pada Shinichi kalau kalian harus berhati-hati pada ayah dari Xiao Chen, dia—"

"Dia memang mencurigakan," potong Heiji. "Shinichi juga bilang begitu. Kami melihatnya sedang memarahi Tuan Zhang karena menyembunyikan cambuk miliknya di dalam rumah keluarga besar Zhang. Namun, ketika polisi menanyakan cambuk itu untuk apa, justru Tuan Liu bilang kalau Zhang Yang Yang yang masih kecil mencuri cambuknya untuk mem-bully Xiao Chen dengan cambuk itu. Ada yang aneh dari dirinya."

"Memang aneh," kataku. "Heiji, dengarkan aku. Cambuk itu memang milik Tuan Liu dan dia menggunakannya untuk menyiksa Xiao Chen—"

"Kalau Xiao Chen melakukan kesalahan," Jovi membantuku berbicara.

"—kalau Xiao Chen melakukan kesalahan."

"A—apa?" Heiji terdengar kaget. "Kautahu itu darimana? Apa kau sudah sangat mengenali rivalmu sampai dia mau berbagi cerita padamu?" Aku bisa mendengar kekehannya. "Ini jauh lebih aneh, tahu."

Akhirnya, aku pun menceritakan semuanya pada Heiji. Mulai dari aku yang mendapati Xiao Chen tidur di atas kasurku, lalu menjadi panik ketika Xiao Chen mendadak berteriak dalam bahasa Mandarin dan menyebut-nyebut nama ayahnya, sampai aku yang berusaha menenangkannya. Tapi, Heiji tetaplah Heiji. Dia memerhatikan bagian-bagian yang tidak logis dari ceritaku, berujung pada pertanyaan yang bertubi-tubi. "Tunggu, kenapa kalian bisa tidur bareng begitu ew? Kau tidak diapa-apain, kan? Terus sejak kapan kau tahu dia sedang menyebut-nyebut nama ayahnya padahal kau tidak mengerti bahasa Mandarin?" tanyanya penuh keingintahuan.

"Aku mengerti sedikit-sedikit bahasa Mandarin, tahu," jawabku berbohong.

"Wah, begitu? Apa kau belajar bahasa Mandarin demi rivalmu si Xiao Chen itu? Takuya-san, jangan-jangan kau—"

"Iya, aku suka padanya," selorohku. "Sangat suka!"

"Ya ampun Takuya-san!" Heiji berseru heboh sampai aku refleks menjauhkan ponselku dari telinga. "Jadi Naomi mau kau bagaimanakan? Lagipula, Xiao Chen itu laki-laki—"

"Nah, itu saja yang bisa kusampaikan untuk membantu kelancaran kasus. Sampai jumpa, Heiji."

Tut. Aku langsung menutup teleponku. Benar-benar panjang urusannya kalau sudah menghubungi Heiji.

Setelah ini, mungkin aku akan langsung mendatangi Xiao Chen sebelum pertandingannya yang pertama.

--**--**--

[A/N]

Is that okay if I publish this at this time?

Sabodo ae aku kesal dengan matkim.

Luv,

Ana 🧡

Orange Spirit Special : Win and Lose (勝ち負け/Win or Lose) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang