Chapter 4a | Lemon (レモン)

30 6 0
                                    

--**--**--

Rasa-rasanya,

aku tak pernah merasakan hal seasam ini

--**--**--

Akhirnya, aku pun bisa tertidur pulas setelah arwah itu memperkenalkan dirinya. Namun, paginya saat aku membuka mata, aku bisa merasakan hawa tubuh seseorang yang tidur di sampingku. Seketika, bulu kudukku merinding lagi. Untung saja, aku tidur membelakangi sesuatu itu. Dari hawanya, aku tahu bahwa sesuatu itu bukan Jovi –arwah yang kemarin. Ya ampun—

Hotel ini benar-benar mengerikan.

"Wah, selamat pagi, Bruh," Jovi yang sedang duduk di atas sofa samping kasurku pun menyapaku sambil melambai-lambaikan tangannya. Aku bisa langsung melihatnya karena posisi tidurku yang menghadap ke arahnya. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, menjernihkan penglihatanku yang masih buram dan beradaptasi dengan sinar lampu yang tak pernah kumatikan acapkali aku tidur. Soalnya, aku takut gelap.

"You again?" Aku berbicara padanya dalam bahasa Inggris, dan seketika aku ingat bahwa dia juga bisa berbahasa Jepang. Tanpa disangka-sangka, dengan random-nya anak itu mengacungkan jempolnya. "Iyalah," katanya. "It's me, Kenshi. Bayanganmu yang kemarin malam."

"Apa ada arwah mengerikan lain selain dirimu di sini?" tanyaku straight to the point.

"Tidak, tuh," jawabnya santai sembari mengambil novelku yang ada di atas meja di hadapannya, yang berjudul Love Yourself, Love Myself karangan Rho, penulis yang katanya sudah lama meninggal. Dia membolak-balikkan halaman demi halaman, terlihat bahwa dia tidak seberapa suka membaca. Namun, dia terlihat sangat tertarik begitu membaca halaman-halaman tertentu. "Memangnya kenapa kau nanya begitu? Coba balikkan badanmu, lihat siapa yang tidur di belakang punggungmu itu."

Perlahan, aku menggulingkan badanku ke kanan. Mataku seketika membulat begitu melihat wajah halus seorang bayi yang sedang tertidur pulas. Sesekali bayi itu mengigau dalam bahasa Mandarin. Bayi besar. Rivalku—

Xiao Chen?

Tunggu, kenapa dia ada di—

"Ayah, sakit!"

Kedua mataku rasanya hampir melompat dari tempatnya saat dia berteriak dalam bahasa Mandarin. Refleks aku terbangun dan terduduk di atas kasur, berusaha untuk menyingkirkan poni yang agak menutupi dahi anak itu dan mendapati tanganku agak basah karenanya. Dia berkeringat, batinku. Dia terus berteriak, berteriak ketakutan namun matanya tetap terpejam. "Ayah!" teriaknya. "Aku janji tidak akan melakukan kesalahan lagi, aku janji!"

"Dia kenapa? Apa katanya?" Jovi berlari ke arahku dan Xiao Chen.

"Aku tidak tahu dia ngomong apa!" seruku panik. "Aku orang Jepang, mana ngerti bahasa Mandarin? Xiao Chen, please wake up!" Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan kekuatan ekstra agar dia segera terbangun dari mimpi buruknya. Sampai akhirnya, dia membuka kedua matanya dan terduduk di atas kasur dengan syok. Namun, seketika dia memelukku.

"Ayah, sakit—" Dia terisak. "Kumohon berhenti, aku—sangat takut, takut sekali."

Aku benar-benar tidak mengerti dia bicara apa. Yang hanya bisa kulakukan adalah mengusap-usap punggungnya, lalu berbisik di telinganya untuk menenangkannya. Lagi-lagi, melihat rivalku kesakitan dan ketakutan ini membuat hatiku sakit juga. "Calm, Xiao Chen. I'm here," bisikku lembut. "Jangan takut, ada aku di sini."

"Aku mengerti dia bicara apa," kata Jovi yang membuatku menaikkan sebelah alis. "Dia—" Jovi menerjemahkannya ke dalam bahasa Jepang. "Dia takut, dia sepertinya ada masa lalu yang kelam dengan ayahnya."

Tak lama kemudian, Xiao Chen sudah mulai tenang di dalam pelukanku. Tapi, seketika dia melepaskan tubuhnya dari pelukanku dan menatapku kaget dengan matanya yang masih memerah dan tinggal segaris. Hidungnya juga memerah, wajahnya benar-benar kacau pagi ini. Aku menatap rivalku itu dengan tatapan selembut mungkin, kemudian kedua tanganku bergerak untuk mengusap air matanya yang masih tersisa. Namun, tak lama waktu berselang, dia segera menepis kedua tanganku dan menunduk malu.

Aku terkekeh. "Siapa yang kemarin malam bilangnya enggak mau terima orang asing?" godaku dalam bahasa Inggris. "Sekarang pertanyaannya adalah—kenapa kau tiba-tiba bisa masuk ke dalam kamarku?"

"I—itu, kau lupa mengunci pintunya," jawab Xiao Chen sambil terus menunduk. "Kemarin malam, aku mimpi buruk. Jadi, aku pergi ke kamarmu dan memencet bel untuk numpang tidur, tapi kau enggak kunjung membukakan pintu. Lalu, aku sadar pintu kamarmu enggak dikunci. Jadi aku langsung masuk dan tidur di atas kasurmu."

Seketika, aku tersadar. Aku benar-benar sudah melakukan kesalahan besar dengan lupa mengunci pintu saat masuk ke dalam kamar. Untung saja Xiao Chen bukan tipe anak yang akan berbuat macam-macam seperti mencuri barang-barangku –dia sudah kaya bahkan sebelum menjadi atlet, atau berbuat asusila padaku. Namun, tetap saja ke depannya aku harus berhati-hati. Bagaimana jika yang masuk bukan Xiao Chen? Bagaimana jika yang masuk adalah gadis-gadis penggemar fanatik yang haus akan keringat para atlet keren seperti aku ini?

"Kau ini lucu juga ya, seperti anak kecil," Aku mengacak-acak rambutnya gemas. "Dude, umurmu sudah 20 tahun sekarang, dan usia kita hanya beda tiga tahun. Aku lihat di Wikipedia. Apa kau enggak bisa tidur sendiri kalau mimpi buruk?"

Xiao Chen benar-benar mengeluarkan sisi menggemaskannya. Dia mengangguk pelan karena malu. "Kalau mimpi buruk, aku—ah, aku biasanya langsung memeluk bonekaku begitu terbangun," katanya pelan.

Aku takjub mendengarnya, begitu pula dengan Jovi yang hanya bisa ternganga. Boneka? Nani? Seriously? Jinjja? Boneka? Seorang laki-laki di usianya yang sudah menginjak masa dua puluh tahunnya masih tidur dengan membawa bonekanya yang dibawa ke alam mimpinya? Hell no. Tapi karena Liu Xiao Chen sangat manis, awet muda, dan menggemaskan –tentu saja dia menggemaskan kalau saja bicaranya tidak menyebalkan dan tatapan dinginnya tidak menusuk siapapun yang melihatnya, aku mewajarinya. Mungkin dia seperti itu juga karena kesepian.

Ya.

Terlihat juga dari matanya.

--**--**--

[A/N]

Apa kabar, teman-teman? Gimana kuliah daring atau kelas daringnya? *Ana mencoba ramah.

Oke, keep healthy di rumah masing-masing dan jangan sampai sakit ya kayak kth kita. Doi lagi flu soalnya.

Kth : Iya, aku flu tapi bukan corona loh ya. Pilek doang gini udah beberapa hari.

🧡🧡

Orange Spirit Special : Win and Lose (勝ち負け/Win or Lose) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang