Chapter 8a | Grey and Blue (灰色和蓝色)

22 6 0
                                    

--**--**--

Tahun ini,

tak hanya aku yang tumbuh lebih tinggi darimu

Angsa putih ini, mendapatkan sayapnya kembali

Itu semua karenamu,

manusia takoyaki yang tak sengaja kutemukan setiap tahun di arena pertandingan

--**--**--

Akhirnya, keesokan harinya aku dan Xiao Chen akan melaksanakan pertandingan final.

Sehari sebelumnya, pagi sebelum jam sarapan, aku pergi ke kamar Xiao Chen sambil membawa laptop. Rencananya, kami berdua akan menonton drama korea lagi. Aku tidak menyangka, ternyata Xiao Chen juga menyukai Ahn Ri Ya-ku. Namun karena aku lebih menyukai Xiao Chen, aku rela-rela saja apabila suatu saat Ahn Ri Ya melirik rivalku itu dan bukan melirikku, persis seperti peran yang dimainkannya, di mana dia memerankan seorang gadis yang lebih menyukai Liu Xiao Chen yang berbakat dibanding seorang Kenshi Takoyaki.

Di balik pintu kamarnya, aku bisa mendengarkan suara yang sangat familiar.

"Naruto-kun!"

"Baka yaro, kono yaro!"

He, ya ampun.

Bukankah ini serial 'Naruto'?

Aku pun menekan bel di samping pintu kamarnya. Tak lama kemudian, suara itu berhenti dan berganti dengan suara pintu yang dibuka oleh Xiao Chen. "Ohayou gozaimasu, Tuan Muda Liu," sapaku sembari mengacak-acak rambutnya. Entah sudah berapa kali aku melakukan ini padanya, karena dia terlihat seperti adik yang manis. Dia pun juga sudah tidak masalah lagi jika kuperlakukan seperti ini. "Habis nonton 'Naruto', ya?" tanyaku, dengan sangat tepat sasaran.

Mata sipit Xiao Chen kini melebar. Dia terlihat panik, tetapi dia juga tidak bisa berbohong padaku. "Ah, aku hanya iseng nonton—"

"Jangan bilang kau mau belajar bahasa Jepang lewat anime," Aku tertawa sembari kembali mengacak-acak rambutnya, kemudian masuk ke dalam kamarnya dan duduk di atas sofa sembari membuka laptop. Sementara itu, dengan wajahnya yang memerah dia langsung menghampiriku dan duduk di sampingku. Mau dijelaskan dengan penjelasan apapun, aku tahu dia pasti akan mengarang seribu satu alasan agar aku tidak berpikir bahwa dia mau belajar bahasaku.

"Aku—aku sama sekali tidak tertarik belajar bahasamu, tuh!" serunya dengan nada panik. Sementara itu, aku tertawa sampai perutku terasa sakit. Anak ini benar-benar tsundere. So kawaii desu. "Tapi, aku baru saja belajar menghitung dalam bahasa Jepang. Ichi, nii, san, yon, go—" Dia berhitung dengan menggunakan jarinya, dan itu membuatnya tambah menggemaskan di mataku. Aku tahu dia sudah dewasa dan umurnya sudah menginjak 20 tahun, apalagi kami hanya beda tiga tahun. Namun, seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, wajahnya benar-benar mirip anak bayi.

Akhirnya, aku tidak jadi menonton drama di laptop-ku dan memilih untuk menonton 'Naruto' di laptop Xiao Chen sambil mengajarinya sedikit bahasa Jepang. Padahal, seharusnya aku yang belajar bahasa Mandarin demi dirinya, tetapi akhirnya malah dia yang belajar bahasa Jepang demi diriku.

"Kenshi," kata Xiao Chen setelah kami menghabiskan satu episode. "Aku mau bilang sesuatu."

"Sesuatu apa? Ceritakan saja," kataku padanya.

"Jadi, tadi malam ayahku video call lewat penjara," cerita Xiao Chen. "Dia bilang, aku boleh hidup seperti apa yang kumau setelah pertandingan final ini. Jadi, besok adalah pertandingan terakhirku. Aku akan menjamin bahwa kau bisa menang besok, Kenshi."

Aku menatap kedua mata sipitnya sembari berusaha mencerna apa yang dia katakan. Hidup seperti apa yang dia mau? Pertandingan terakhir? Jaminan bahwa aku bisa memenangkan pertandingan besok?

"Tapi Xiao Chen," Aku tersenyum lembut ke arahnya. "Rival macam apa yang mau menjamin bahwa rivalnya akan menang dalam pertandingan? Aku memang berambisi untuk menang, tapi aku tidak mau kemenangan itu kudapatkan dari rival yang menjamin kemenanganku. Itu jauh lebih hina daripada gagal berkali-kali. Lagipula, apa maksudmu dengan pertandingan terakhir?"

"Tahun depan, aku akan jadi penari lagi," jawab Xiao Chen, tetapi aku bisa mendengar keraguan di dalam suaranya. "Sedari dulu, menari adalah duniaku, tapi Ayah tidak pernah merestui hal itu. Sekarang Ayah sudah memberiku kebebasan, dan aku memutuskan untuk kembali menari."

"Apa kau yakin?" tanyaku. "Kau terlihat ragu."

"Tidak, aku tidak ragu."

Bohong, batinku.

"Xiao Chen," tegasku. "Kalau tahun depan kau berhenti bermain bulu tangkis, aku juga akan berhenti."

Xiao Chen bergeming.

"Kenshi," Dia menggumamkan namaku. "Kenapa? Bulu tangkis itu, kan, duniamu."

"Bulu tangkis itu memang duniaku," Aku beranjak dari sofa, lalu menghela napas sejenak sebelum melanjutkan bicaraku. Saat ini, aku benar-benar emosi. Sebut saja aku egois, tetapi aku tidak ingin Xiao Chen berhenti bermain hanya karena dia ingin kembali menari. Toh dia bisa menari di atas lapangan sambil memainkan raketnya, dengan tatapan mata sipitnya yang tajam layaknya angsa putih. "Tapi, duniaku itu akan menghilang kalau Xiao Chen tidak ada di dalamnya. Aku pernah bilang padamu, kau itu penting. Kau itu seperti energi yang membuat semangat cahaya jinggaku semakin berkobar. Orange light spirit, I repeated it."

"Jadi kalau kau menghilang dari duniaku, aku akan mencarimu sampai kemanapun. Tapi jika kau tidak bisa kutemukan lagi, aku juga akan menghilang dari duniaku sendiri," Aku yang emosi mulai berbicara dalam bahasa Jepang. "Aku benar-benar marah dan kesal sekarang, Xiao Chen," Aku memalingkan wajahku darinya sembari memegangi kepalaku yang mendadak terasa sakit. "Aku tidak bisa marah dalam bahasa Inggris."

"Kenshi, aku minta maaf—"

"Kau tidak perlu minta maaf," Aku kembali berbicara padanya dalam bahasa Inggris. "Kau hanya perlu jujur pada dirimu sendiri. Aku juga akan berusaha menghilangkan perasaan bergantungku padamu ini kalau kau memang mau jujur pada dirimu sendiri."

"Kenshi—"

"Aku bilang seperti ini karena aku menyayangimu," kataku sembari menahan sesak yang entah kapan munculnya. "Bahkan aku terlalu menyayangimu padahal aku foreigner bagimu dan kau denganku juga tidak bisa senyaman bersama teman-temanmu di China karena kau tidak bisa bicara Mandarin padaku."

Tanpa kuduga, Xiao Chen beranjak dari sofa dan bergerak untuk mendekatiku, berusaha untuk memelukku. Tapi, aku mendorong tubuhnya agar dia menjauh dariku. "Kalau begitu, biar sekalian saja besok aku akan mundur dari pertandingan final," Setelah mengatakan hal itu, aku meninggalkannya tanpa lupa menutup pintu kamarnya.

Lalu, aku masuk ke kamarku dan menyiapkan berbagai perlengkapan untuk kabur dari sini.

--**--**--

Orange Spirit Special : Win and Lose (勝ち負け/Win or Lose) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang