Jatuh

38 10 37
                                    

Masih di hari itu.

Selesai pertandingan tadi, aku sangat yakin bahwa laki-laki itu merasa bersalah atas kekalahan timnya. Tidak ingin terlalu larut dengan keadaan menyedihkan ini, aku dan Rahmi memutuskan untuk keluar dari gedung pertandingan dan segera mencari makan. Aku sudah sangat lapar, tenagaku terkuras hanya karena ikut menegang ketika melihat pertandingan tadi. Sungguh, payah sekali kau, Bey.

Kedai Bakmi yang hanya berjarak 200 meter dari gedung olahraga ini menjadi pilihan kami. Ternyata cukup banyak pelanggan di sini, mungkin karena dampak diadakan event basket cup hari ini. Aku dan Rahmi langsung memilih tempat duduk yang kosong, berbagi tempat duduk dengan siswa dari sekolah lain yang juga seorang supporter. Aku dengar mereka melakukan pembicaraan perihal lomba tadi.

"Ah, sayang banget ya si Bintang harus jatuh. Coba dia stay play till end of the game. Pasti sekolah kita menang"

Rupanya cewek-cewek di sebelahku ini satu sekolah dengan Bintang itu. Aku menangkap hal yang salah dalam ucapannya, maksudku bagaimana bisa dia menyalahkan orang yang jelas-jelas jatuh ditabrak lawan? Entahlah, aku sedikit tak suka mendengar nya.

"Lagian maruk banget sih, dia kayak pengen menguasai lapangan sendirian gitu. Kerja samanya kurang"

"Tapi dia keliatan bersalah banget sih tadi"

"I did know, emang seharusnya kan dia kayak gitu"

Bersamaan dengan ucapan cewek yang kedua, aku segera menoleh ke arah mereka. Masa bodoh dengan senioritas atau rasa sopan, aku tidak bisa tinggal diam.

"Saya rasa kalian berdua harus mencoba ada di posisi pemain, berkomentar memang hak kalian, tapi mendapatkan apresiasi juga hak pemain, yang saya maksud di sini pemain yang kalian bicarakan. Jauh di dalam hatinya, dia pasti ingin memberikan kemenangan.

Ternyata memang benar, dunia terlalu mudah untuk orang yang hanya pandai berkata-kata"

Kedua cewek itu terlihat terkejut dengan ucapanku, pun orang-orang di sekeliling kami. Rahmi sampai menganga melihatku berbicara seperti tadi. Aku sudah terlalu muak dengan mereka, aku memposisikan bagaimana jika yang mereka bicarakan adalah Mars, maka aku akan menjambak mereka bergantian. Aku tidak sudi harga diri laki-laki seperti kakakku di nilai rendah seperti itu. Aku menarik tangan Rahmi untuk keluar dari kedai itu, rasa laparku menguap begitu saja. Sepertinya aku kenyang dengan omongan kedua cewek tadi. Kendalikan dirimu, Bey. Kau hanya membuat keributan di sana.

"Bey, tapi aku masih laper loh"

"Mi, kita cari tempat makan yang lain ya. Aku masih emosi, Mi"

Rahmi mengangguk mengiyakan. Dia mau mau saja, lucu sekali.

"Tapi yang tadi keren loh, Bey...

Ucapnya sambil menunjukkan dua jempol. Kami berdua berjalan untuk mencari tempat makan yang lain.

.... Kamu kayak lagi membela pacar aja"

"Mi, please deh. Aku lagi kepikiran aja kalau yang diomongin itu Mars, gimana? Aku ngga terima, Mi"

"Kamu emang baik deh, Bey. Kamu juga blak-blakan. Berani. Kayak Cindy"

Aku tertawa mendengarnya. Dari dulu aku selalu mengungkapkan apa yang ada di pikiranku. Memendamnya hanya akan membuat hati kita sakit. Terkadang, ucapanku yang tiba-tiba ini membuat orang-orang terdekatku menjauh, seperti teman-temanku misalnya. Kecuali si Rahmi ini yang bisa memahami maksud dari sikapku. Selain Rahmi, ada juga temanku bernama Cindy, karena kami sesungguhnya selaras tapi berbeda. Satu lagi Titan, dia sangat dewasa dan logic sehingga ia saat betah denganku.

SESAL DAN RINDU (On Going)Where stories live. Discover now