Jembatan Menuju Jurang

10 2 0
                                    

Sebuah tragedi, 13 April 2015.

Genap tiga bulan lamanya aku menikmati masa-masa menyenangkan bukan dengan kekasihku. Aku tahu ini perbuatan yang sangat tidak baik, namun tindakanku ialah biasan cermin perilakunya.

Bersama Biru, aku hanya sekedar memancing. Benar-benar melakukan kegiatan memancing di danau yang waktu itu aku datangi bersama teman-teman untuk tugas biologi. Di sisi Bintang, selama tiga bulan terakhir ini dengan terang-terangan ia membiarkanku melihat kedekatannya bersama gadis lain bernama Luna. Gadis yang selama ini selalu berada di sisinya melebihi kehadiranku.

Komunikasi diantara kami sangatlah renggang, seperti saat dulu aku belum mengenalnya. Entahlah ini siapa yang salah? Namun aku harus mengakui bahwa mengakhiri lebih baik daripada hubungan yang digantung seperti sekarang.

Aku pernah menghubunginya, namun kicau burung-burung jauh lebih awet daripada kicau kami dalam bertukar pesan. Aku pernah menelfonnya, namun suara angin mengambil kuasa lebih besar daripada suara dia yang mendominasi itu.

Kiranya akibat tingkahku yang egois malah menempatkan orang lain dalam kisahku, namun sebenarnya ia lebih dahulu memungut peran pengganti dalam kisahnya. Aku pun menyadari kami sama-sama labil di usia kami saat ini, namun ia tidak pernah mendewasakan hal-hal serupa yang telah kami perdebatkan sejak dahulu.

Jadi karena memang usiaku masih dalam kategori remaja labil, mencontoh lah aku atas tingkahnya. Ia bersorak senang dengan teman gadisnya, aku pun menikmati waktu santai bersama teman priaku yang lainnya.

Pohon yang besar belum tentu bisa mempertahankan bahkan daun-daun kecil yang membuatnya rindang. Terkadang, ia kalah akan angin yang berembus lebih kencang untuk menggoyahkan. Dibiarkannya daun itu pergi begitu saja, tanpa penyesalan, tanpa penahanan karena daun muda akan selalu muncul.

Perasaannya ialah pohon rindang, besar dan menyejukkan, namun angin menggodanya pun lebih kencang, hingga daun harus dijatuhkannya. Dan, hatiku adalah daun.

Pertengkaran yang semula tidak pernah aku bayangkan, meledak bagaikan bom yang telah lama disimpan. Ia meluapkan segala kekesalannya atas tingkahku yang selama ini selalu ikut bepergian dengan Biru. Padahal kami tidak pernah bepergian dengan hanya berdua, banyak teman lain yang ikut pergi bersama kami.

"Masih pantas kamu? Aku sebut sebagai pacar?"

"Terserah Kamu" ucapku akhirnya. Perdebatan panjang tak pernah usai, dan ia selalu menyalahkanku.

"Kalau Bunda dan Mama Papa tahu apa yang kamu lakukan? Tidakkah kamu malu? Kamu berdekatan dengan pria sedangkan kamu memiliki pacar?"

"kenapa aku harus malu? Aku hanya menganggapnya seperti Abang sendiri"

Bintang menghela napas panjang.

"Akan aku maafkan kamu untuk kali ini saja" lalu dia langsung meninggalkanku. Kami tadi bertemu di depan gerbang, bahkan ia tidak sudi masuk ke dalam rumahku.

Katanya, ia memaafkanku. Maaf yang tidak pernah ku minta dan maaf yang tak pernah aku ketahui sebagai syarat suatu kesalahan. Aku tidak melakukan kriminal hati, tentang aku dan Biru itu bagiku jauh lebih normal dibandingkan dengan kedekatannya dengan gadis itu.

Ia memaafkanku, tanpa tahu seberapa banyak diriku yang telah memaafkannya, tanpa ia ketahui dan tanpa ia sadari. Karena bagiku, itulah sebuah isyarat ketulusan.

Jika begini caranya, sepertinya aku tidak akan mengunci mulutku lagi. Harusnya dari kemarin aku menghitung semua kesalahannya sepeti yang ia lakukan padaku hari ini. Namun kemarin, aku masih memikirkan kelanjutan kisah kami.

Besok adalah tepat satu tahun kami berjanji pada kehidupan. Siapa yang menyangka, satu tahun lalu kita mengalami hal indah, lalu sekarang kami saling bertabrakan ego.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 15, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SESAL DAN RINDU (On Going)Where stories live. Discover now