Lembaran Lusuh

28 10 21
                                    

Gedung tiga lantai ini menjadi saksi gundahku untuk pertama kalinya. Bicara mengenai paham tidak sebuah hubungan, jelas sekali tidak, aku bahkan baru memulainya. Tetapi melihatnya bersanding dengan gadis lain selain Bunda, membuatku sedikit kontra atas perlakuan itu.

Semilir angin yang berembus di tempat yang aku tinggali seperti tidak ingin membawa kekacauan dalam otakku. Aku ingin mempercayai lelaki itu, aku ingin memakluminya seperti Mars yang lupa membelikanku ayam goreng di tengah kekosongan perutku. Namun ketika aku memikirkannya, ada sesuatu lain yang tidak memperbolehkan sebagian diriku ini  untuk memaklumi. Ia tertawa lepas hampir menenggelamkan matanya, sang gadis terus mencecarkan kalimat humor yang samar-samar bisa didengar. Ah, aku bisa gila. Aku ingin menuntut ilmu di sini, bukan menuntut cintaku.

Langkah lebar segera ku ambil. Bintang memang penting untukku, namun Papa Mama menaruh harapan besar padaku. Cukuplah untuk angan-angan "bagaimana jika ia" hari ini yang jika diteruskan, aku tidak akan lebih dari seorang zombie.

------------------Sesal Dan Rindu----------------

Sepanjang hari di sekolah baru yang tidak memiliki sistem ospek, aku menyibukkan diri dengan terus berkenalan kawan-kawan sebanyak mungkin. Aku lupa mengatakan bahwa Miranda, Titan dan Sirius--atau Cindy masih satu sekolah denganku, namun kami berbeda kelas. Ketika aku mengobrol dengan beberapa kawan baru, akan selalu ada topik mengenai kakak kelas favorite, dan itu tidak lain adalah Kak Bintang. Sosoknya begitu dikagumi dan diidolakan, aku pun tak paham bagian ini karena beberapa bulan lalu ia bahkan memiliki citra yang kurang baik akibat kekalahan tim basket dalam turnamen.

"Kak Bintang itu selain ganteng, cool, pintar dan anak basket, kabarnya juga dia masih jomblo" ucap salah satu kawan baruku, Awan. Dia seorang anak laki-laki, tapi sangat up to date.

Aku tersenyum mendengar kabar yang ia sampaikan. Rupanya Kak Bintang belum mengenalkanku pada khalayak ramai. Aku tau ia pendiam, tetapi tidaklah sedikit saja ia menampakkan bahwa dirinya telah memiliki seorang pacar? Atau apakah aku baginya? Suara-suara kekaguman di sekeliling membuatku kesal. Bagaimana mungkin aku menjadi seorang pendendam secara tiba-tiba?

"Belin, sepertinya kamu orang yang paling tidak tertarik pada pembicaraan kami tentang Kak Bintang, ya?" tanya Awan lagi, aku mengangkat wajahku dan menggeleng cepat.

"Aku hanya bingung, mengapa orang-orang membicarakannya. Aku bahkan tidak mengenalnya." ucapku senetral yang aku bisa.

Kalian tidak tahu saja, ungkapan rasa kebanggaan kalian kepada Kak Bintang, membicarakan betapa hebatnya dia dan betapa mengagumkannya ia, begitu menyakiti hatiku. Tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku salah satu orang terdekatnya, ketika dia saja tidak membiarkan orang lain mengenalku. Asumsi semua orang yang menyatakan jika ia sedang sendiri dalam konteks hati, sudah menjelaskan betapa ia tidak ingin namaku terselip di dalam hidupnya, maka aku pun akan melakukan demikian. Tidak ada kata Bintang ketika aku sedang di Pelita Harapan.

Selesainya dari lamunan, aku melihat beberapa kawan baruku satu-satu berpamitan pergi ke kantin, rupanya jam istirahat telah tiba, bahkan aku tidak mengetahuinya saking sibuknya memikirkan nasibku. Sebenernya beberapa dari mereka mengajakku ikut serta, namun sepertinya aku tidak menanggapi mereka. Aku mengernyit mendapati sahabatku berjalan ke arahku, aku berada di taman depan sekolah, sedang duduk-duduk santai bekas melamun.

"Bey, lu ngapain dah di sini? Kita nyariin lu daritadi" marah Cindy. Aku hanya tersenyum menanggapi.

"Kantin yok, udah ditunggu Titan sama Rahmi" aku mengangguk dan hanya mengikuti tarikan tangannya pada tanganku. Jika diibaratkan pada sebuah angka, mungkin energi dalam tubuhku berada pada titik minus.

Sesampainya di kantin, mereka bertiga heboh membicarakan para kakak kelas favorite masing-masing, sedang aku kembali melanjutkan lamunan. Sejak hari pertama sekolah hingga hari ini, tepat sepuluh hari lamanya, kita--aku dan Kak Bintang-- tidak pernah bertegur sapa, hanya sesekali berkomunikasi lewat chatting. Bingung, entah siapa yang memulai? Ia tak pernah basa-basi menanyakan keadaanku ketika di sekolah, pun diriku yang terlampau malas menanyakan tentang kegiatan belajarnya. Kita sama-sama diam, kita sama-sama enggan bercerita, aku enggan sakit hati jadi ku turuti apa pun yang ia lakukan.

Pulang sekolah aku lanjutkan perjalanan ke rumah Bunda, menolak ajakan sahabat-sahabatku. Hatiku masih tidak tenang, berharap menemukan sesuatu perasaan yang hilang di sana. Barangkali, hatiku melega sesudahnya.

Bunda menyambutku penuh ceria, tepat pada pertemuan kami kali ini aku bercerita mengenai kebun kecilku yang tumbuh dengan baik, meskipun tidak seindah punya Bunda. Beliau sangat memuji keahlianku yang menurut guraunya adalah menurun dari keahlian beliau. Ah, tentu saja Bunda tetap yang terbaik.

"Akhir-akhir ini Bunda lihat Bintang murung dan jarang betah di rumah, dia kembali jadi pendiam. Bunda pikir, Bintang dan Bey sedang tidak baik-baik? "

Sambil meminum teh hijau yang disajikan Bunda, aku memikirkan jawaban yang tepat. Tidak sepenuhnya bertengkar, aku pun tidak berpikir demikian, akan tetapi aku merasa hubungan kami memang berubah.

"Kak Bintang dan Bey ngga apa-apa kok, Bun. Mungkin Kak Bintang sedang kepikiran tentang sekolah atau ekskul-nya"

"Begitu, ya. Aneh-aneh saja anak itu"

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Bunda.

Bahkan sampai empat jam lamanya aku di sana, Kak Bintang belum juga menampakkan batang hidungnya. Bunda yang mungkin merasa tidak enak padaku berkali-kali menelfon Kak Bintang dan menyuruh pulang, namun akhirnya aku yang menyerah. Aku pamit pulang pada Bunda.

"Bey harus rajin-rajin mengunjungi Bunda, ya? Dan juga, maafkan Bintang untuk hari ini ya, Bey" ucap Bunda dengan mata berkaca-kaca.

Hatiku mencelos mendengarnya,  segera aku berlari ke arah Bunda untuk memeluk beliau. Tidak, Bunda. Bey memang kecewa pada Kak Bintang, tapi tidak sepantasnya Bunda yang memohon-mohon padaku, ini tidak lah benar. Bagaimana pun keadaannya,  aku hanyalah anak kecil yang tidak sampai hati melihat seorang ibu memelas hanya karena anaknya.

"Bunda, ngga apa-apa. Bey ngga marah kok. Bunda sehat sehat ya? Bey pulang dulu. Bye Bunda. "

Bunda melambaikan tangannya dan aku mempercepat langkahku keluar dari rumah itu. Cukup jauh dari sana, terlihat sebuah pohon yang sangat rindang. Aku berlari ke arah pohon itu dan duduk untuk kembali menetralkan dan memahami apa yang terjadi seharian.

Tanpa sengaja suara yang tidak asing mengusik telinga. Aku sedikit berlutut memeriksa pemilik suara itu.

Tiba-tiba jantungku berhenti berdetak. Di sana netraku menangkap sosok yang selama ini membuat hari-hariku gusar. Kak Bintang sedang bersepeda dengan gadis yang ku lihat tempo hari di sekolah. Sekali lagi, Kak Bintang bersepeda, hanya berdua. Tidak berboncengan memang, tapi di sana hanya ada mereka yang bersandingan.

Haha. Ia tidak murung sama sekali. Bahkan dia melupakan bahwa aku sudah satu sekolah dengannya.

Dasar sialan.

Sialan diriku, mengapa pada scene ini aku menangis? Tiba-tiba air mataku menetes begitu saja. Aku masih berada di samping pohon, sendirian dan sedang menangis.

Tidak ada yang tahu pasti keadaanku yang cukup mengenaskan. De javu yang gagal, bahkan orang yang menghapus air mataku dan menolongku kemarin, dengan tidak sengaja ditakdirkan membuatku menangis kembali hari ini.

Nahkoda itu sungguh tidak becus,  bukannya sibuk menentukan arah yang benar untuk berlayar, ia malah sibuk memberi catatan melalui pena murahan pada kertas kisahku. Beberapa lembaran menjadi lusuh, aku tak suka melihatnya.

Dengan tangan yang masih gemetar, aku berusaha mengambil handphone yang berada dalam tas gendongku.

"Mars, jemput aku sekarang!"

------------------Sesal Dan Rindu----------------

Marhaban ya Ramadhan....

Selamat berpuasa bagi yang menjalankan.

Masih berusaha update dan semoga masih ada yang baca.

Dukung terus yaaa. ❤❤❤

SESAL DAN RINDU (On Going)Where stories live. Discover now