Menenangkan, Menghanyutkan

10 4 13
                                    

Biru Wardhana.

Satu nama baru yang memasuki kehidupanku. Satu tambahan nama laki-laki yang berkenalan denganku setelah Bintang Arkana Surya, pacarku. Aku tidak menghitung serta teman-teman lelakiku karena kebanyakan dari mereka tidak pernah berkenalan secara personal denganku, kita semua tentunya paham.

Bintang memperlihatkan gelagat yang berbeda setelah beberapa menit lalu seorang lelaki menghentikan kegiatan kami, bernama Biru tadi. Jika sedikit bingung darimana kami mengetahui namanya, sebelumnya ia sempat memperkenalkan diri pada kami berdua.

“Bagaimana bisa, dia berlagak seperti dirinya adalah seorang pahlawan?”

“Siapa yang Kakak maksud?”

“Si Biru” ucapnya cepat sambil mendudukkan dirinya di kursi taman yang terbuat dari pohon jati. Aku mengikutinya, dan mengambil jarak sejengkal dari sisinya.

“Katanya kita ngga boleh berduaan Kak, nanti bahaya. Dia nyegah kita demi kebaikan kita. Masuk akal sih” usilku padanya, aku ingin tahu reaksi seperti apa yang akan aku lihat.

“Memang pikirannya saja yang kuno” ucap Kak Bintang sambil mengerucut sebal. Tiba-tiba dia menjadi pria perajuk, jika begini, aku bisa apa selain merasa gemas?

“Kakak ngga mikir kalo Kakak itu kuno juga?”

“Kamu mau bilang kalau aku sama dengan dia?" dia lumayan terpancing emosi sepertinya. Aku semakin suka suasana ini.

“Memangnya masih ada di zaman sekarang, sepasang remaja pacaran di taman dan rumah?” tanyaku balik yang membuat dia berhenti mengerucutkan bibirnya. Alih-alih marah, ia malah memamerkan giginya dengan wajah tak berdosa.

“Oh.. Itu sebenarnya my style of our relationship saja Bey. Kamu keberatan? Apakah kita perlu mengubahnya?”

Hatiku langsung berteriak tidak dengan tegas. Aku sangat nyaman dengan cara kami dating selama ini. Tidak berlebihan dan tentunya masih asyik. Memahami alam dan menikmatinya, mengabadikan tempat dan meninggalkan kenangan di sana. Itu sangatlah mahal dibandingkan dengan suasana ramai berdempetan dengan hiruk pikuk pasangan lain. Selama ini, aku merasa memiliki moment istimewa dengan alam bersamanya.

“Tentu tidak.” ucapku tegas. Ia cepat menanggapi ucapanku dengan mengacungkan dua jempol tangannya.

                                *****
Menuju hari indah di sekolah.

Sesungguhnya sangat lama bagi mereka warga sekolah untuk dapat kembali menormalkan dirinya ketika berhadapan denganku. Namun dengan pertimbangan yang berat pun dengan hati yang berat aku dan pihak kedua alias Kak Bintang sama-sama sepakat untuk jaga jarak di sekolah.

Apa yang kita harapkan dari persepsi orang lain? Sebenarnya andai pun mereka tetap berbicara dan melihat yang tidak-tidak, aku sangat bisa mengabaikannya. Akan tetapi aku tidak boleh egois memenangkan rasa kebodoamatanku sendiri, hubungan kami terdiri atas dua orang, maka aku juga harus memikirkan kerugian dari pihak yang lain.

Turnamen basket akan diadakan sebentar lagi, Bintang butuh latihan yang cukup. Tapi tidak sedihkah kalian membayangkan betapa aku ingin ada di setiap waktu saat ia latihan? Meskipun hanya duduk melihat usahanya atau sekedar menyiapkan air dingin ketika ia haus, tetapi aku tak bisa melakukannya. Aku hanya bisa memandangnya jauh sambil sesekali mataku berkaca-kaca. Benar-benar dekat tapi jauh. Jauh hanya karena kata-kata orang lain, jauh hanya karena pandangan orang lain, jauh hanya karena reputasi diri. Mengapa rasanya semua orang menjadi juri atas terdakwa hati antara aku dan Bintang?.

Hari-hari kemarin, semua orang sudah berani menatapku bahkan ada yang senyum kecil. Jujur aku mulai senang dan merasakan kehangatan dari tempat ini. Namun aku harus melepaskan perasaan lain dariku, yaitu kerinduan padanya.

SESAL DAN RINDU (On Going)Where stories live. Discover now