Pelita Harapan Highschool, bulan pertama di tahun 2015.Turnamen basket terakhir yang akan Bintang ikuti di sekolah ini. Sedih memikirkan bagaimana saat ia berada di tingkat akhir sekolah menengah atas adalah justru moment kami membentangkan jarak. Akhir-akhir ini bahkan lebih parah, ia tak lagi sesering kemarin mengirimkan pesan. Bahkan orang lain lebih rajin menemaniku lewat sekotak benda canggih yang karenanya lumayan berdering.
Aku sampai bingung, apakah memang dalam semua hubungan yang disebut pacaran mengalami masa seperti yang tengah aku rasakan?
Padahal ketika aku menonton sebuah film, drama dan teater, aku tak pernah melihat akhir yang mengatakan bahwa kedua orang yang saling jatuh cinta akan berpisah. Semuanya bahkan sampai menikah hingga memiliki keturunan seperti apa yang mereka dambakan sejak dahulu.
Memangnya hubungan kami bisa disebut berakhir? Indera pendengaranku belum pernah menangkap kata-kata berpisah darinya, tetapi tindakannya menunjukkan hal sebaliknya.
Jingga, saksi setia yang mengukur kegigihanku melawan ego sendiri untuk memaksa menemaninya. Mengingat setiap inci gerakan yang ia ciptakan melalui gerakan manik di balik pohon Akasia yang tidak lagi rindang, tidak cukup menutupi tubuhku sehingga tentunya orang tidak cukup bodoh untuk tidak melihatku.
Aku ada, tapi tidak dianggap ada. Mereka semua mengalunkan nama indahmu dengan kencang, sedang aku di sini untuk bernafas saja seperti tidak diizinkan.
Dia memenangkan lomba hari itu, aku senang pun sedih. Senang karena ia tak lagi dianggap pecundang seperti hari-hari yang lalu, sedih karena aku tidak bisa mengucapkan kata selamat dan sekedar untuk menjabat tangannya.
Terkadang, tidak menjadi siapa-siapa justru lebih baik daripada menjadi asing yang disengaja.
"Bey, Kak Bintang menang tuh. Ucapin selamat kek, apa kek, jangan di sini mulu. Kamu mah" ucapan Miranda menghentikan pergulatan batinku sendiri. Seandainya dia tahu, aku tidak se berani dulu. Aku bukan Belinda setahun yang lalu, yang dengan lantang membela lelaki yang bukan siapa-siapa nya. Aku Belinda, seorang pecundang yang membiarkan pacarnya dikerumuni gadis-gadis yang lebih cantik dariku.
"Bey.. Kok malah melamun? Kamu sakit? Mau ku antar pulang kah?" tanya Miranda bertubi-tubi, khawatir mulai menguasai jiwanya.
Sedangkan di sana, Bintang tengah dipeluk erat gadis yang tempo hari aku lihat di dekat rumahnya. Senyumnya cerah, se cerah langit sore ini. De javu sialan.
"Miran, anterin aku pulang ya". Miran langsung mengangguk dan merangkul bahuku, kami menuju tempat ternyaman saat kesedihan melanda, ialah rumah.
Sepanjang perjalanan menuju pulang, tanpa sengaja air mata nakalku lolos begitu saja.
Hari kemenangan bagi orang lain aku banjiri dengan tangis kesedihanku. Hari ini ialah kekalahan Benteng pertahanan yang selama ini aku bangun. Ia runtuh bersama dengan airmata yang luruh. Ia hancur melebur isyarat untuk mundur.
Mundur dengan segala kebimbangan hari kemarin, mundur dari segala kecemasan hari esok. Cukuplah untuk hatiku hari ini, ia terlalu berat memikul bebannya sendirian, sekarang saatnya lah otakku yang bertindak.
Biar aku simpulkan, hari ini turnamen basket terakhir bagi Bintang untuk tingkat pelajar, dan hari ini ia menang, kemudian seseorang yang begitu dekat dengannya akhir-akhir ini memeluknya sangat erat di hadapan para penonton. Haha lucu sekali hari ini, semua orang layaknya menonton remake drama romance, hanya saja yang satu ini tanpa sutradara dan beberapa kamera.
Aku tertawa, menertawakan airmataku yang tak kunjung berhenti mengalir, menertawakan otakku yang tak kunjung menghapus jejaknya, menertawakan hatiku yang seperti ditusuk jarum. Aku sangat berantakan. Secercah harapan muncul melingkupi, semoga teman-temanku tidak merasakan hal yang sama seperti yang aku alami saat ini.
Segumpal rasa menguap menjadi beberapa bagian kemudian hilang. Alih-alih merindu, kini aku menyesal.
*****
Hari keesokannya.
Kak Bintang mendatangiku karena pesannya yang tak kunjung aku balas. Ternyata trik mendiamkan ini cukup berhasil, tetapi aku tidak menyarankan bagi yang lain untuk melakukannya, karena ini perbuatan yang kurang baik.
Terjadi drama antara aku dan Mama yang mempunyai pemikiran bertolak belakang. Mama menginginkan aku untuk segera menemui Kak Bintang di ruang tamu, sedangkan aku tidak ingin menjumpainya barang sehari saja, biarlah ia jera dengan ketidakpekaannya.
Namun akhirnya aku kalah, aku harus menemuinya dan jika perlu akan aku sudahi semua ketidaknyamanan ini.
"Bey?" ia memulai percakapan kami dengan hanya menyebut namaku. Tindakannya membuat suasana di antara kami sangatlh canggung.
Setelahnya aku tak membalas sapanya hingga ruang tamu ini menjadi sangat sunyi. Bunyi dentingan jarum jam yang berada di tengah ruangan menjadi sangat lambat rasanya.
Sepertinya memang lidahku bekerja sama dengan otakku mengkhianati hatiku, hingga ia kelu kaku tak mampu mengatakan apapun di hadapan manusia yang tanpa sengaja menyakitiku.
"Bey, kamu kenapa?" aku tertawa kecil mendengar pertanyaan basic seperti ini. Ia mengunjungi rumahku dan telah bertemu denganku namun masih menanyakan keadaanku? Yang benar saja, bahkan ia kemarin menyadari ada sepasang mata yang menahan airnya untuk tak menetes membuktikan kesedihan dan kerinduan, namun ia masih berpura-pura tak mengetahuinya.
Aku mengetahui kau mengetahuinya, dan aku mengetahui kau berlagak tak mengetahuinya. Aku jadi ingin tak mengetahuimu lagi.
"Aku ngga apa-apa, perkara Kak Bintang pelukan dengan orang lain itu udah ngga aku pikirkan"
"Tidak seperti itu, Bey. Luna memelukk karena.. "
"Tolong jangan bahas siapapun selain kita di sini, please Kak" ucapku memotong ucapannya. Katakanlah aku tidak sopan, namun alam bawah sadarku tidak menginginkan dia selain kita. Jika dipaksa, mungkin ragaku tak akan sehat. Ia mengangguk lesu, memandangku dengan sendu. Apakah ia merasa bersalah?
"Maafkan aku, aku sama sekali tidak bermaksud mengkhianatimu, Bey"
"Maaf Kak Bintang akan aku terima jika sejalan dengan tindakan atas apa yang Kakak ucapkan tadi" ia menunduk, tak berani menatap mataku yang sedari tadi tidak pernah lepas memandanginya. Menyadari betapa indahnya ia, dan mendapatkan kesimpulan bahwa jelas saja selama ini gadis-gadis sangat menginginkan posisiku.
"Aku tidak akan mengkhianati seseorang yang memberikan warna pelanginya padaku. Yasudah, selamat beristirahat, Sayang" ia bangkit berdiri memberikan senyum tipis masih menundukkan kepalanya. Kemudian ia menghampiri Mama yang sedang berada di teras rumah untuk pamit pulang. Aku hanya mengikutinya sampai pintu rumah dan se hilangnya ia dari pandangan, langsung ku langkahkan kaki menuju kamar.
Ada apa dengan hari ini? Mengapa hatiku tidak seperti biasanya? Berbunga-bunga hanya dengan sebutan cinta darinya, namun sekarang tidak terlalu.
Ting!
Whatsapp notification+6282332453xxx
Mau ikut memancing, Adik kecil?Tanpa menanyakannya, aku kenal si pengirim chat ini. Langsung ku ketikkan balasan padanya. Sepertinya menikmati keindahan air di hari yang keruh ini tidak begitu buruk.
*****
Gomawooo yeorobun buat yang masih baca.
Semoga bermanfaat buat kalian.
YOU ARE READING
SESAL DAN RINDU (On Going)
RomanceCerita ini tercipta atas perbedaan dua benda langit. Meskipun mereka berada di tempat yang sama, nyatanya jarak mereka terhalang. Ialah, Bintang dan Belinda. -------- Untuk yang ingin membaca cerita ini, jangan berharap ceritanya akan sebagus cer...