Duapuluh

9.2K 1K 103
                                    

Mahesa POV

Aku mau bawa calon mantu Mama kerumah Bang ... Sempetinlah buat mampir

Pesan dari Ibram Bratayudha membuatku membelokkan setir mobilku menuju pinggiran kota Semarang, tempat rumah milik keluarga Bratayudha berada, rumah yang sengaja di beli oleh Papanya Ibram saat si Bungsu mereka memutuskan mengikuti jejak Papanya menjadi seorang Perwira Kepolisian.

Siapa yang tidak mengenal keluarga Bratayudha, mungkin karir beliau sama seperti Papaku, tapi ranah bisnis keluarga mereka membuat mereka ditempat yang berbeda, dan aku, entah keberuntungan atau bagaimana, disaat aku diasingkan Papaku dan Papa Mertuaku, sosok Iwan Bratayudha beserta Istri yang merupakan Kapolda disana justru mengulurkan tangannya padaku, satu kebaikan yang kulakukan tanpa sengaja pada Putra Bungsu mereka justru dibalas dengan tali persaudaraan yang tidak akan pernah ternilai.

Ibram, laki laki yang awalnya biang onar, yang pernah dikejar oleh satu peleton Polisi dan Tentara karena menjadi provokator di sebuah unjuk rasa di saat akhir SMAnya kini benar benar menjelma menjadi sosok Perwira Muda yang membuatku kagum akan perubahannya.

Melalui Ibram jugalah aku mengetahui jika Badai Hermansyah gugur di saat tugas terakhirnya. Badai Hermansyah yang disebut Ibram sebagai Seniornya, sama dengan Badai Hermansyah yang turut andil dalam memperkeruh hidupku.

Entah disebut cinta atau obsesi saat dia menghalalkan banyak cara agar bisa menghalangiku bertemu dengan Dhita, laki laki asing untukku dan Dhita itu benar benar menjelma menjadi 'badai' yang sebenarnya, tidak cukup hanya menghalangiku, tapi juga dia bisa mempengaruhi keluarga Dhita, membuatku berada di posisi terpojok tanpa pembelaan sedikitpun.

Seperti orang banyak katakan, seorang bajingan terlihat sempurna saat mencintai seseorang, tanpa mereka sadari dan pedulikan jika cinta mereka menghancurkan hati orang lain.

Seperti itu pula Badai dimataku, laki laki asing yang menggenggam tangan Dhita diakhir pertemuanku dengan Dhita itulah yang membawa lari cintaku.

Kalimat singkat yang kuucapkan pada Dhita saat itu benar benar menjadi Boomerang untukku, tapi percayalah, itu juga yang akan kalian katakan jika kalian berada di depan mantan kekasihmu yang sedang depresi berat.

Tidak mungkin kalian akan dengan senang hati mengatakan Alisha, perempuan yang menurutmu sedang bermanis manis dengan kekasihnya itu adalah istriku.

Dan ternyata, aku tidak pernah bisa mempunyai kesempatan untuk mengutarakan apa yang bisa membuatku sampai bisa mengeluarkan kalimat menyakitkan itu.

Dhita sudah terlanjur pergi tanpa bisa kutemukan lagi. Dan baru pemakaman Badai Hermansyah pula aku mendapatkan kesempatan untuk bertemu Dhita untuk pertama kalinya.

Rasanya hancur melihat raut wajah kosong penuh kesedihan Dhita saat melihat pusara Badai, laki laki yg turut andil dalam hancurnya keluargaku, memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan cinta seorang Dhita. Kufikir, sekian lama aku dan Dhita berpisah, Badai dan Dhita sudah bersama, tapi nyatanya, Dhita masih dengan kesendiriannya.

Sebuah penolakan yang sudah kubayangkan, benar benar kudapatkan saat menatap manik mata coklat emas itu. Memupus harapanku untuk memintanya agar sekedar mendengarku.

Tatapan kebencian, kemarahan dan kekecewaan yang tergambar jelas dimatanya memupus harapanku untuk menemuinya lagi, rasa jijik dan tidak sudi membuatku mengurungkan niat menggebuku untuk bisa menemuinya setelah bisa kembali ke Jawa.

Bukan Cinta Sendiri Tersedia Ebook Dan NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang