Duapuluhdua

17.4K 1K 299
                                    

" ... yang terpenting buatku, kamu dan Luna bahagia ..."

Kalimat Ibram terus menerus terngiang-ngiang dikepalaku, membuatku kini yang baru saja bangun tidur merasakan pening.

Astaga, setelah kejadian kemarin yang menjungkirbalikkan duniaku dalam sekejap, aku hanya menginginkan tidur, dan itu sama sekali tidak bisa kudapatkan.

Wajah Ibram, Mahesa, Badai dan juga Luna silih berganti dipelupuk mataku, tidak membiarkanku istirahat sedikitpun. Kebingungan melandaku, keputusan apapun yang akan kuambil kedepannya akan menyakiti hati mereka yang peduli padaku ini.

Ibram, laki laki tengil itu terlalu baik untuk kukecewakan, sikap dewasanya yang mampu mengayomiku membuatku meragu, tapi, kini bukan hanya aku yang diminta memilih untuk hatiku, tapi juga putri kecilku, ada Luna yang mesti menjadi prioritasku

Dan lagi masalah Luna, apa yang akan kukatakan pada gadis kecilku saat Mahesa akan memperkenalkan diri sebagai Ayahnya ?? Padahal baru saja Ibram meminta pada gadis kecil itu agar menerimanya menjadi Ayahnya, bagaimana aku akan menjelaskan keruwetan masalah yang terjadi ini pada bocah berusia enam tahun itu tanpa melukai hatinya.

Aaaarrrrrggggghhhhhh pusing !!! Rasanya aku ingin sekali menjambak kepalaku saking frustrasinya.

Mataku menatap kamar ini dengan nanar, sebuah potret yang berisi aku, Badai dan Luna di pesta ulangtahun ketiga Luna menarik perhatianku, dan ini semakin memperberat helaan nafasku.

Perlahan kuraih pigura itu, menatap wajah tampan Badai dalam balutan kemeja slimfit babyblue yang pernah kubelikan untuknya.

Astaga Badai, kenapa cinta bikin kamu senekad ini, tapi apapun kesalahanmu, bagiku sama Luna, kamu tetap Superhero ku, kamu sosok Ayah pertama Luna, kamu tetap sandaranku yang terbaik, kini aku belajar, kamu mungkin salah dalam cara mencintai, tapi kamu yang terbaik dalam menyayangiku dan Luna.

Kuletakkan pigura itu ke tempatnya kembali dan mengusapnya perlahan, kucepol rambutku sembari berjuang melawan pening yang menyerang.

Rasa terkejut kembali kudapatkan saat aku membuka pintu, nyaris saja aku berteriak saking terkejutnya saat melihat seorang polisi dengan seragam lengkapnya berada di dapurku, sibuk dengan pan dan spatula diatas kompor.

Astaga !!! Kufikir dia sudah pulang semalam, dan melihat Mbak Imah yang takut takut tak jauh dibelakang Ibram, aku mengerti, pasti laki laki ini dan segala kengeyelannya telah berulah.

"Mas Ibram nggak pulang Mbak, dia tidur di teras semalem, pagi pagi dia udah minta ijin buat pakai kamar mandi ..." Bisik Mbak Imah saat berjalan disampingku, sebelum dia berlalu menuju kamar Luna untuk mengurus gadis kecilku itu.

Aku hanya mengangguk, dan memilih menghampiri Ibram yang sudah menganggap rumahku ini seperti rumahnya sendiri. Ingin sekali aku mengomelinya, tapi lagi dan lagi, saat Ibram berbalik dan memamerkan senyumannya yang khas, Omelan yang ada di ujung lidahku menghilang entah kemana.

"Gila ya !! Putri Aria kalo bangun tidur aja secakep ini ..." Ujar Ibram disertai kikik tawanya yang menggoda.

"Aku kira kamu pulang Bram ..."

Ibram mendengus sebal, mata abu abu itu menyipit mendengar pertanyaan ku," perasaan dari semalem setiap kali kamu nyapa aku, kalimat itu yang keluar ..." Kufikir dia akan marah, tapi nyatanya Ibram justru mengusap rambutku yang berantakan ini," ... Nggak tahu kenapa aku malah berhenti dan berakhir molor di teras semalem Ta ..."

Akhirnya aku hanya bisa terdiam karena tidak tahu lagi bagaimana menanggapi laki laki yang sulit ditebak ini.

Hingga akhirnya, sepiring omelette dan juga segelas teh hangat hadir di meja makan ini, hasil dari kesibukan Ibram pagi ini.

Bukan Cinta Sendiri Tersedia Ebook Dan NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang