Duapuluhsatu

9.9K 1K 125
                                    

"Aku nggak tahu dunia sesempit ini ??"

Nyaris saja aku melonjak saking terkejutnya saat mendengar suara Ibram dibelakangku di saat aku menutup pintu kamar Luna.

Laki laki yang tampak kasual dalam celana pendek Khaki dan kaos Putih polos itu kini melihatku dengan pandangan yg sulit kuartikan.

"Kupikir kamu sudah pulang Bram ??" Tanyaku sambil berjalan meninggalkannya menuju dapur, kulirik jam di dinding dan nyaris jam sebelas. Waktu tidur termalam Luna selama ini. Dari suara derap langkah yang membayangi langkahku membuatku tahu jika laki laki ini juga mengikutiku sampai ke dapur.

"Aku nggak mau pulang ..." Jawaban super enteng itu membuatku menoleh kearahnya, dan sebuah cengiran lebar terlihat di wajahnya saat aku memelototinya.

Ibram beranjak, meraih gelas dan teko yang kupakai untuk menyeduh teh dan mendorongku agar duduk," nggak usah melotot, aku nggak bakal mempan sama pelototan kamu itu ..." Huuuhhh aku mendengus sebal, membiarkan laki laki berpunggung lebar itu mengambil pekerjaanku membuat teh, dan bodohnya aku, melihat Ibram di dapur justru membuatnya terlihat sexy berkali-kali lipat.

"Kenapa sih bebal banget kamu diberitahu ?? Dasar ngeyel ..." Gerutuku.

Segelas teh dengan irisan lemon kini berada di depanku, dan saat aku menghirupnya, sebuah keterkejutan kembali kudapatkan, seperti menangkap apa yang ada dikepalaku, sebuah senyum kembali terlihat di wajah Ibram yang ada di depanku.

"Kenapa ?? Enakkan ?? Lebih mantul daripada buatanmu sendiri ??"

Dan akhirnya, dengan berat hati aku mengangguk, mengakui jika Ibram memang mahir meracik minuman sederhana ini menjadi lebih enak dari biasanya.

"Ternyata selain pintar ngegombal kamu juga pinter bikin minum, bagus bagus ..." Tawa kecil turut keluar saat aku mengucapkannya, jika seorang Ibram beralih profesi dari Polisi ke Barista sudah pasti dia akan sukses juga.

"Kesannya kok aku playboy amat sih, aku tuh berusaha baik ke semua orang, terus kalo mereka salah sangka atas kebaikanku dan ngerasa kecewa, aku masih dibilang playboy gitu ??" Aku terdiam mendengar tanggapan Ibram yang terlihat mulai tidak nyaman dengan godaanku barusan. "Mungkin dulu aku nggak akan peduli, tapi disaat aku benar benar serius seperti sekarang, rasanya itu ganggu banget ..."

"I'm Sorry ..."ucapku lirih, merasa bersalah telah membuat Ibram yang sudah berbaik hati menjaga Luna untuk beberapa waktu tadi tidak nyaman.

Ibram mengibaskan tangannya acuh," Never mind, aaahhhhhhh kembali ke topik tadi, aku masih nggak nyangka dunia sesempit ini,"

Aku menghela nafas, mengerti akan apa yang dibicarakan Ibram kali ini, topik yang selalu aku hindari semenjak perjalanan pulang dari Rumah Bratayudha.

"Siapa yang nyangka, mati matian aku sembunyi dari Mantan Suamiku, malah kamu yang bawa aku ke dia ..." Aku menunduk, memilih memainkan irisan lemon yang ada didalam gelasku, memikirkan Mahesa membuatku teringat dengan semua percakapan dan penjelasan yang telah diberikannya.

Suara kekehan kecil terdengar, membuatku mendongak," sebenarnya, kalo nggak ingat kalo aku cinta sama kamu, kalo nggak ingat kalo aku baru saja ngelamar kamu, mungkin aku akan dengan senang hati bilang ... Semua hal fatal yang terjadi pada kalian itu hanya sebatas kesalahpahaman, merasa paling benar tanpa mendengar, berlari dari masalah tanpa mau meluruskan ... Kalian egois sendiri sendiri, Bang Mahesa berniat jadi superhero biar kamu nggak terbebani sama masalalunya, dan kamu, egois dengan membiarkan kebohongan menjadi satu hal yang fatal, dalam sebuah hubungan, jika ada kebohongan, dinginkan kepala, duduk bersama, dan selesaikan ... Bukan kabur kaburan seperti apa yang terjadi pada kalian"

Aku ternganga, tidak menyangka jika sebuah kalimat bisa sedemikian menusuk setajam belati seperti sekarang ini.

Ibram meraih tanganku, mengusap punggung tanganku perlahan,"Maaf kalo kalimatku terkesan menghakimimu, tapi aku hanya menilai dari sudut pandang orang luar yang melihat bagaimana menderitanya Bang Mahesa selama ini, dan ngeliat kalo kamu sampai nyembunyiin Luna dari dia, sudah pasti kamu kepalang benci sama dia ... Entahlah, sefatal apa kesalahpahaman itu sampai buat rumahtangga kalian harus berakhir dengan begitu tragis"

Tanpa terasa air mataku menetes, mengalir tanpa bisa dibendung lagi, memikirkan betapa aku yang merasa paling tersakiti tanpa mau sedikitpun membagi rasa, egoku yang meminta pengakuan membuatku menutup mata akan semua hal yang mungkin ada dibaliknya.

Kenyamanan, rasa aman, rasa penuh perlindungan, semua kasih dan perhatian yang diberikan Badai saat aku merasa benar benar jatuh dan mengecewakan Papa dan Kakak membuatku egois, menganggap jika Mahesa tersangka utama penyebab semua kemalangan yang menimpaku.

Kudengar suara derit kursi yang ditarik, belum sempat aku menoleh, aku sudah merasakan sebuah dekapan dari Ibram, usapan dipunggungku membuat air mataku semakin deras beriringan dengan Isak tangisku yang semakin keras. Kini, bukan Ibram yang seperti anak kecil, tapi aku yang menangis meraung raung dipelukannya menumpahkan semua penyesalan yang bercokol di hatiku yang baru kusadari.

"Nangis aja ...." Suara Ibram terdengar disela isakanku," rasanya pasti sakit saat kita tahu kenyataan yang nggak sesuai dengan apa yang kita fikirkan selama ini ..."

Kenapa ?? Aku justru merasa aku ini begitu kekanakan didepan Ibram, laki laki yg lebih muda dariku ini justru jauh lebih dewasa menyikapi masalah yang menimpaku, menyadarkanku akan pahitnya kenyataan yang keliru kuterima, menyadarkanku jika aku turut andil dalam kesalahpahaman ini.

Benar seperti apa yang dikatakan, usia tidak menjamin kedewasaan seseorang, Ibram, dia mematahkan stigma itu dengan semua sikapnya.

Ibram melepaskan dekapannya, mengusap setiap bulir air mataku dengan tangannya, dan saat tangan itu menyentuh pipiku, jemari itu menarik sedikit ujung bibirku, membentuk garis senyuman di wajahku yang sendu.

"Kalau senyum ... Berkali kali lipat lebih cantik tahu," ucapnya disertai dengan seringai nakalnya yang khas.

Mau tak mau aku turut tersenyum mendengar guyonan garing khas seorang Ibram ini, rasanya aku sudah terbiasa dengan gombalannya yang sangat tidak tahu tempat ini.

"Tuuuhkan cakep !! Ini nih, Kandhita Aria yang bikin satu gerombol Taruna mimisan saking cakepnya ..." Kutepuk bahunya dengan gemas agar dia berhenti menggombaliku, tidak tahukah dia jika aku ingin sekali menenggelamkan diriku ini ke rawa rawa jika mengingat betapa konyolnya aku yang menggodanya waktu itu, jika tahu aku akan terjebak dengan hubungan yang dinilai masih tabu karena usia kita yang terpaut beberapa tahun ini, mungkin aku tidak akan pernah melakukannya.

"Kenapa kamu justru belain Mahesa, kalo kamu beneran serius sama aku, harusnya kamu senang kalo aku sama Mahesa nggak baik baik saja ..."

Akhirnya pertanyaan yg mengganjal itu keluar dari bibirku usai Ibram menghentikan tawanya karena menggodaku. Kini wajahnya jauh lebih serius daripada tadi saat dia menenangkanku yang menangis.

Mata abu abu gelap itu menatapku tajam, bukan tatapan mengintimidasi, tapi seakan akan ajakan untukku agar menyelami kejujuran yang akan dikatakannya.

"Aku mencintaimu, dan aku nggak meragukan apa perasaanku ini. Tapi percayalah, cinta nggak akan bikin aku buta sampai harus selicik itu Ta ...  Aku mencintaimu, sangat !! tapi melihat bagaimana Bang Mahesa berada dalam tekanan selama ini, aku nggak akan tega berlaku lebih dari seorang penengah diantara kalian ..."

Astaga laki laki ini, kenapa dia selalu bisa mematahkan setiap praduga yang ada dikepalaku.

"Harus berapa kali aku bilang, aku nggak peduli bagaimana masalalumu, nggak peduli siapa kamu, yang aku tahu aku cinta sama kamu, dan kalaupun kamu punya masa lalu sama seseorang yang aku anggap Abang sendiri, aku nggak peduli, semua terserah kamu, kamu masih mau memberiku kesempatan untuk masuk ke hidupmu ... Atau kamu minta aku berhenti sekarang ini dan kamu pilih memberi kesempatan pada masalalumu yang belum selesai karena ada Luna diantara kalian"

Ibram berdiri, sebuah usapan kurasakan di ujung kepalaku sebelum dia berlalu.

"Sebelumnya aku nggak akan percaya bisa ngomong kayak gini, tapi denganmu aku bisa bilang .. baik kamu ngasih kesempatan ke aku atau nggak, yang penting kamu dan Luna bahagia, itu sudah cukup !!"

TBC

Bukan Cinta Sendiri Tersedia Ebook Dan NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang