P R O L O G

4K 454 82
                                    

Seribu kali tanya boleh diutarakan jika kau tak bisa memenuhi renjana atas rasa penasaranmu. Satu, dua, tiga. Aku menghitung satu persatu setiap pertanyaan yang terlempar tanpa basa-basi ke arahku. Mereka tahu aturan, sangat tahu tata krama. Bergiliran pada masing-masing pola manuskrip yang sudah mereka siapkan di atas buku catatan kecil, atau bahkan di otak mereka sendiri.

Sekali lagi, aku menghitung. Satu persatu manusia yang berdiri dan melontarkan pertanyaan melulu itu saja. Soal cinta, soal pasangan, soal imbasnya kasus ini pada peluncuran lagu baruku, dan — bullshit dengan semua itu. Sementara aku harus bisa menyunggingkan senyum untuk hal-hal yang hanya kuanggap tabu? Itu seperti mengunyah kerang mentah yang sudah jelas aku benci. Membiarkannya memainkan ujung lidahku padahal memuntahkan adalah hal terbaik menurutku.

Flashlight kamera menimbulkan titik-titik cahaya yang saling menyahut. Di dalam ruang tertutup yang hanya dihadiri oleh manajemen keartisanku, para team penyelenggara dan tentunya para tamu yang tak pernah kuniatkan untuk diundang, wartawan itu, entah dari berbagai media mana saja. Bertingkah seperti pelajar yang takut kehabisan pertanyaan.

Aku duduk di depan mereka, sebagai narasumber yang valid. Yang mereka incar sosoknya sejak dua hari yang lalu. Aku jenuh. David—manajerku yang duduk di sebelah kiriku—berkali-kali menjawab pertanyaan mereka, tetapi tampaknya tak ada sedikit pun kepuasan tersirat di wajah mereka.

Tetap saja, aku yang dijadikan tawanan berita.

"Ya, dua pertanyaan lagi setelah ini kami closing," seru David. Barangkali ia juga sudah sama lelahnya denganku. "Oke Mbak yang pakai baju hijau silakan bertanya."

Perempuan itu berdiri, benar kata David, dia mengenakan kaos berlengan panjang berwarna hijau, tangan kanannya memegangi ponsel untuk merekam.

"Saya dari majalah Beauty, nama saya Hanum. Satu pertanyaan saja dari saya semoga bisa dijawab oleh Ivanka sendiri." Ia menatapku. Berharap banyak. "Apa benar Vergian Zack berpacaran dengan Anda hanya karena untuk mendongkrak popularitasnya sendiri? Dia tidak benar-benar mencintai Anda dan itu sebabnya ia melakukan kekerasan terhadap Anda?"

Suasana kembali meriuh, para rekan jurnalis yang ada di sekelilingnya mendukung pertanyaan wanita itu. Secepatnya aku bersuara, untuk menghilang lebih cepat tentunya.

"Saya tidak punya urusan dengan popularitas Vergian Zack, apakah ia hanya memanfaatkan saya atau tidak. Yang jelas, kekerasan fisik yang saya terima sudah kalian lihat buktinya, bukan?"

"Belum spesifik. Saya perlu—"

"Oke sudah cukup ya, Mbak Hanum. Selanjutnya ... pertanyaan selanjutnya silakan. Ivanka harus segera istirahat setelah ini, mohon pengertiannya." David mencoba menenangkan situasi. Sementara para wartawan itu ribut sebab tak mendapat jawaban berarti dariku. "Ya ... ya selanjutnya, Mas yang baju Merah, silakan."

Oke, aku tidak bisa melihat apa pria yang David maksud apakah benar-benar mengenakan pakaian berwarna merah. Whatever, aku lelah bukan main tentu.

"Ivanka," serunya. Pria itu, menyeringai padaku. Memperlihatkan mata yang tegas seolah ingin menerkam. Garis wajahnya menyerupai pahatan tangan yang diciptakan untuk memiliki kewibawaan. Ia memiliki jeda lima detik sebelum masuk ke pertanyaan selanjutnya. "Nama singkat yang dikonversi dari sebuah nama indah—Vanny Marhaen."

Bulu kuduk di belakang leherku menaik secara refleks. Demi apa pun yang pernah aku lalui di dunia ini, tak ada satu orang pun yang tahu nama itu kecuali mereka yang pernah bersamaku sewaktu kecil. Siapa orang itu, siapa?

"David, hentikan sesi ini. Aku harus segera pergi," bisikku pada David.

Namun pria itu sudah mencium gelagatku rupanya. Sementara semua orang yang hadir di tempat ini, kini menjurus pada pria berbaju merah tersebut. Leherku berkeringat lebih.

"Saya belum mengajukan pertanyaan, jadi, tolong jangan akhiri sesi ini. Saya masih punya hak." Ancamnya? Dia mengancam atau apa? Aku mulai mencium ketidakwajaran hendak terjadi detik berikutnya. "Maaf jika saya mengungkit sedikit masa lalu Ivanka tapi ini mungkin berkaitan dengan apa yang Anda alami saat ini."

Ia menarik napas, menatap mataku serius, menyeringai kembali.

"Ketika masih berusia dua belas tahun, benarkah Anda pernah menjadi korban pelecehan seksual orang terdekat Anda hingga menyebabkan Anda bertindak menyakiti diri sendiri waktu itu? Jadi, mungkin ini sama seperti kasus yang sedang Anda alami, luka-luka yang tertinggal di tubuh Anda. Bisa jadi bukan hasil perbuatan Vergian Zack, tapi—bisa jadi akibat perbuatan Anda sendiri."

Gemetaran di kakiku mulai menggertak, langit-langit di ruangan ini seolah meretak serupa akar pohon yang bersiap sekali meroboh wajar menimpa tubuhku. Atau semua yang ada di sini. Atau mungkin mereka semua mendadak mati saja agar aku bisa lari dari dunia ini.

Sial sekali pertanyaan pria itu. Jangankan menjawab, memikirkan masa lalu yang tiba-tiba datang menghujamku saja sudah menghabiskan waktu. Bulir keringat mulai menerjun. Jika bisa, aku pura-pura mati saja saat ini.

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang