Lima [Tangan yang Berdosa]

747 193 8
                                    

Ini akan menjadi hal yang menegangkan. Bagi diriku sendiri. Bagi Melani, dan Vanny akan menjadi seseorang yang disalahkan. Pasti.

Hafni akan kehilangan napas tak lama lagi. Kutekan semakin dalam lekuk antara ibu jari dan telunjukku. Menancapkan kuku yang meskipun tidak tajam tapi aku yakin berefek menyakitkan buatnya. Kedua kakinya mendorong-dorong meronta, kedua mata Hafni membelalak dan lihatlah, di saat seperti ini ia masih saja bertingkah sombong, sok hebat. Ia mencoba mengancamku.

"Kamu dengar? Hanya akan ada aku dan Ivanka. Ini peringatan terakhir untukmu, Perempuan Tua!"

Aku akan membuat ia merasakan peredaran darahnya tersumbat, napasnya habis, bibirnya bergerak memohon ampun, tapi ia sama sekali tidak merasa terancam. Ekspresinya menunjukkan itu. Hafni menarik tanganku menjauh sekuat tenaga meski upayanya sia-sia. Ia tahu posisinya sudah terdesak dan ajal sebentar lagi akan menghampirinya, tetapi perlawanan kecilnya itu, jemarinya tak mau mencakari lenganku sebagaimana wajarnya orang yang tercekik.

Terus terang, ia semakin membuatku berang.

Hampir saja aku mencapai klimaks saat tiba-tiba saja di belakangku, sesuatu mengagetkan. Bel pintu bersuara nyaring dua kali.

Aku menoleh ke belakang. Gigiku mengerat tak suka. Aku belum menyelesaikan keinginanku untuk membunuh Hafni tetapi seseorang malah datang di saat yang tidak tepat.

Bel berbunyi untuk yang ke sekian kalinya. Kupandangi wajah Hafni lekat-lekat yang seharusnya dalam hitungan detik ia akan menjadi mayat, tapi pintu itu meraung-raung. Ketukan berkali-kali mengisyaratkan bahwa sesuatu yang darurat sedang terjadi.

"Sialan!"

Energiku terasa sia-sia. Kalau kubiarkan ini berlangsung lama, aku tidak akan punya waktu banyak untuk menyembunyikan mayat Hafni. Seharusnya aku berkesempatan menaruh mayatnya di dalam almari, atau di dalam mesin cuci, atau kutaruh ia di atas plafon sampai bangkainya tercium bagai tikus loteng yang mengering karena diracun. Demi apa pun itu akan terasa lebih menyenangkan seharusnya. Kepuasan batin berlipat-lipat jika aku berhasil membuat karya terbaik dari pekerjaanku. Kemudian orang-orang akan terkejut setengah mati. Ivanka akan menjadi sorotan publik, lalu Melani akan menjadi populer suatu hari nanti.

Namun, ini tidak bisa dilanjutkan. Aku melepaskan cengkeramanku. Kembali memandangi pintu yang masih digedor-gedor seperti orang yang terburu untuk buang hajat. Hafni lemas. Napasnya satu-satu dan ia kesulitan membuka matanya.

"Ini peringatan untukmu! Jauhi Ivanka, dia milikku sepenuhnya dan jika kau masih ada di sini, kupastikan kau tak akan mendapatkan keberuntungan untuk yang kedua kalinya."

Perempuan berhijab di bawahku itu terbatuk-batuk lemah. Aku berdiri dan mengintip siapa orang menyebalkan itu melalui lubang intip pintu.

Pria itu!

Aku menggeram, meninju pintu agar—setidaknya—ia tahu aku sedang tak ingin menerima tamu. Suara raunganku memantul-mantul di dinding. Ini bukanlah permulaan yang baik untuk menunjukkan eksistensi. Mulai sekarang, akan kupastikan pria itu menyesal karena pernah mengenal Ivanka.

***

Kedua mataku mengerjap. Aku bisa merasakan pintu digedor-gedor dan bel berbunyi nyaring. Getarannya sampai menyentuh ujung hidungku. Aku terperangah atas apa yang terjadi. Kudengar seseorang terbatuk-batuk dan melenguh lemah. Mataku mengarah ke bawah, sepasang kaki menyembul di lantai kemudian kuikuti alurnya.

"Ibu?!" Refleks aku menjatuhkan diri dan berlutut di samping tubuhnya. "Apa yang terjadi?"

Ibu memegangi lehernya, napasnya tersekat-sekat seolah ia baru saja tercekik sesuatu. Tidak, dia memang benar-benar tercekik. Ada jejak bilur memerah melingkari lehernya, jelas terlihat, kulitnya terluka dan sedikit berdarah. Mungkin bekas tancapan kuku. Kepanikan meramuku, menerjang darahku. Aku menggapai kepala ibu, ia kesulitan membuka mata tetapi tampak berusaha.

BEHIND THE STAGE (Wattys Winner 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang